Rene Descartes yang menjadi “simbah” atau ‘dedengkot’ kemodernan mencetuskan pemikiran revolusioner dalam dunia modern yang teringkas dalam sebuah frasa terkenal: “Cogito ergo sum” (bahasa Latin) yang artinya “aku berpikir, maka aku ada.” Pemikirannya ini menandai titik balik dalam kehidupan manusia hingga saat ini. Mengapa??? Sejak Descartes, yang masih layak disebut manusia adalah “mereka yang mampu berpikir,” yang mampu menggunakan akal budi atau rasionalitasnya untuk dapat hidup atau bertahan di dunia ini.
Hal inilah yang melahirkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mutkhir yang dapat mempermudah kehidupan manusia. Pada titik ini, IPTEK pun merasa diri dapat menjadi “allah” baru dalam kehidupan manusia. IPTEK menggantikan kedudukan Allah di dalam hati dan pikiran umat manusia. Peran serta Allah dalam kehidupan umat manusia perlahan-lahan digeser, karena Allah hanya diyakini menciptakan alam semesta dan segala isinya termasuk manusia, tetapi tidak punya relevansi konkret lagi bagi pergulatan hidup manusia untuk menjawab kebutuhan hidupnya sehari-hari (deisme). Semua mata tertuju pada IPTEK yang diharapkan dapat menakhlukan keganasan alam semesta dan mampu menyingkapkan semua misteri yang terkandung di dalam alam semesta maupun yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.
Akan tetapi, dewasa ini, para ilmuwan mulai sadar bahwa “rasionalitas” atau "akal budi" manusia tetaplah terbatas. IPTEK yang adalah anak kandung dari rasionalitas ternyata tidak mampu memecahkan semua persoalan hidup manusia, karena disadari juga bahwa dunia ini penuh dengan "lautan misteri" yang tidak dapat disingkapkan seluruhnya oleh “akal budi” manusia yang hanya sepotong itu.
Selain itu, IPTEK ternyata melahirkan juga penderitaan baru bagi manusia. Mengapa? Karena di satu sisi, IPTEK mampu membuat hidup manusia lebih diermudah dengan efektivitas dan efesiensi melalui alat bantu berupa produk-produk yang dihasilkan IPTEK. Contoh: pikiran kita sudah dipermudah kerjanya oleh kalkulator; tangan kita dipermudah oleh mesin-mesin produksi; kaki kita dipermudah oleh alat-alat transportasi; mata kita dipermudah oleh kaca mata dan media massa baik elektronik maupun cetak; mulut kita dipermudah oleh aneka pengeras suara; dll. Intinya, produk-produk kemodernan memang telah membuat hidup kita dipermudah alias lebih efisien dan efektif. Namun, sadar ataupun tidak, kita sesungguhnya perlahan-lahan telah diperbudak atau dikontrol oleh mesin-mesin dan alat-alat yang dihasilkan oleh IPTEK.
Jangan dikira bahwa kita-lah yang mengontrol semua alat tersebut. Pada titik tertentu produk-produk IPTEK menjadi otonom dan tidak mudah untuk dikontrol lagi. Contoh: apa yang terjadi jika listrik mati? Kita menjadi lumpuh dan seolah tanpa daya, tidak bisa bekerja atau beraktivitas tanpa listrik. Mengapa? Karena semua aktivitas kita di kantor, di kampus, di rumah, dan di mana-mana sangat bergantung pada listrik. Komputer yang menjadi pusat aktivitas kita tidak lagi bisa dioperasikan, ketika listik mati. Pada titik ini, kita sudah didikte atau dikendalikan oleh IPTEK. Orang yang memakai ponsel pun perlahan-lahan dikendalikan oleh ponsel. Mengapa? Karena ada orang yang tanpa ponsel, rasanya tidak bisa hidup. Tidak mendapatkan sms satu biji pun dalam sehari, menjadi gelisah. Tentu contoh ini terlalu naif dan radikal. Akan tetapi, itu hanya contoh kecil bahwa ternyata bukan kita lagi yang mengontrol semua produk IPTEK tersebut, melainkan kita-lah yang perlahan-lahan dikendalikan oleh mereka yang adalah hasil atau ciptaan kreatif dari “akal budi” atau “rasio” kita.
Lalu, apakah lantas kita harus kembali ke alam alias “back to nature” seperti Tarzan atau suku “Badui Dalam” yang tidak mau dicemarkan oleh IPTEK dan produknya??? Sikap ini, tentulah tidak realistis, karena kita tidak mungkin memutar waktu dan sejarah untuk kembali lagi ke zaman “jadul” atau zaman pra-sejarah atau zaman-nya Tarzan. Kita harus tetap menceburkan diri dalam dunia kita dengan aneka perkembangan atau inovasi gila-gilaan yang tak terbendung oleh kuasa apa pun dan mana pun juga. Di sini, dibutuhkan integritas diri yang kokoh agar tidak tergerus oleh arus zaman dan upayakan agar mengurangi tendensi untuk dikendalikan oleh produk-produk IPTEK yang ada.
Sadarlah juga bahwa “rasionalitas” atau “akal budi” bukanlah segalanya dalam hidup ini. Ada wilayah-wilayah lain yang masih gelap dan tidak mampu disingkapkan oleh “akal budi” kita yang terbatas. Inilah "wilayah misteri" yang untuk saat ini masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disingkapkan oleh IPTEK. Dan biarkanlah iman yang lebih terkait dengan emosi dan intuisi diberi ruang di dalam wilayah ini. Bukan berarti, kita jatuh dalam fundamentalisme radikal yang menolak IPTEK sebagai setan atau demon, yang buntutnya, melahirkan “iman buta,” yang merupakan bentuk perlawanan kiri atas arogansi IPTEK dan para ilmuwan kiri (ateis) yang menolak eksistensi Allah sebagai sebuah fakta dan kebenaran eksistensial yang sungguh berperan aktif dengan cara-Nya sendiri yang tidak mudah dipahami oleh keterbatasan “rasionalitas” kita, melainkan tetaplah bersikap arif yang mau terbuka bagi kemajuan IPTEK namun tanpa menyembahnya sebagi “allah baru” yang mampu menjawab semua pertanyaan eksistensial atau mendasar dalam hidup manusia, yang diyakini mampu menggatikan eksistensi Allah yang hidup yang kita imani dan kita sembah seperti yang diwahyukan di dalam Kitab Suci agama kita masing-masing.
Sebab Allah yang kita kenal adalah Allah yang hidup, yang setiap saat menyapa keseharian hidup kita, melalui peristiwa dan pengalaman hidup kita sehari-hari. Kuncinya, biarkanlah sensitivitas iman kita atau intuisi iman kita tetap hidup dan jangan sampai menjadi tumpul atau mati. Allah yang ditolak oleh para filsuf dan para ilmuwan ateis adalah bukan Allah yang hidup, melainkan “allah konseptual” atau 'allah yang mati.' Karena ketika Allah menjadi sekedar sebuah konsep, maka Allah yang 'hidup' menjadi 'mati' karena dibatasi oleh kata-kata manusiawi kita yang pada dasarnya tetaplah terbatas.
F. Nietze mengumandangkan bahwa “allah telah mati,” dan allah yang dimaksdkannya adalah allah konseptual dan bukan Allah yang hidup seperti diwahyukan dalam Kitab Suci agama kita masing-masing. Allah yang kita imani dan kita yakini sebagai satu-satunya yang mampu menjawab semua persoalan hidup kita atau Dia yang menjadi asal dan tujuan (alifa dan omega) hidup kita adalah Allah yang melampui sekedar konsep-konsep atau dogma-dogma.
Dan Dia mengundang kita pada setiap detik hidup kita untuk mencintai Dia dengan segenap hati, segenap budi, segenap pikiran, seluruh tubuh, dan seluruh totalitas hidup kita. Allah begitu dekat dan sudah selalu hadir dalam hidup kita, asalkan hati kita mau terbuka kepada-Nya dan biarkan-lah pintu hati kita terbuka lebar-lebar bagi pewahyuan diri-Nya yang penuh cinta dan pembebasan. Karena itu, jangan sampai nurani atau hati kita menjadi tumpul, sehingga tidak mampu lagi menangkap gerak-gerik kehadiran Allah yang terkadang sangat kasat-mata di dalam setiap pengalaman hidup kita dan tidak mudah terdeteksi jika hanya akal budi yang kita andalkan dalam kehidupan kita.
Dengan demikian, rasionalitas saja tidak cukup. Instuisi dan emosi yang lebih terkait dengan wilayah misteri dan iman, harus juga diberi ruang di dalam kehidupan kita. Ketika kita mengakui bahwa “akal budi” kita terbatas, di sana iman diberi ruang untuk bertumbuh subur dan berbuah dalam hidup. Hidup yang berbuah dari iman akan Allah adalah hidup yang mau ikut serta dalam keprihatinan dan penderitaan sesama dan pederitaan alam semesta yang digempur oleh krisis ekologis. Iman dikatakan berbuah, jika terungkap dalam cinta kasih tanpa syarat kepada sesama tanpa dibatasi oleh sekat-sekat manusiawi termasuk agama di dalamnya. Cinta kasih yang keluar dari iman yang murni dan mendalam akan Allah haruslah bersifat universal dan inklusif. Artinya, menjangkau semua lapisan manusia dan golongan, yang terbuka seluruhnya bagi keprihatinan global tanpa membawa bendera agama tertentu. Inilah inti dari dialog kehidupan dalam kehidupan beragama.
Semoga kita semakin hari, semakin ditantang untuk mau berbagi dengan sesama, apa pun latar belakang kehidupan sosial, warna kulit, ras, dan agama yang dianutnya. Biarkanlah hati kita terbuka seluas dunia dan tidak dubutakan oleh kesempitan cinta diri narsistik, yang menganggap bahwa agamakulah yang paling baik dan benar dan mengkafirkan agama dan keyakinan yang lain. Ketika kita mengkafirkan orang yang menganut agama lain, sesungguhnya kita semakin jauh dari hati Allah yang mau menerima siapa pun dia, apa pun latar belakang agama dan keyakinannya di dalam rangkulan kasih-Nya yang hangat dan membebaskan.
Sebab Allah kita, adalah Allah yang mau menerbitkan matahari dan menurunkan hujan rahmat-Nya baik kepada orang jahat maupun kepada orang baik. Allah kita adalah Allah yang mencintai semua orang tanpa memandang bulu, warn,a dan corak. Ia mencintai kita apa adanya diri kita. Karena itu, kita dintantang untuk mencintai sama seperti cara Allah mencintai yang tidak terbelenggu dalam sentimen suku, ras, dan agama, gender, atau pun strata dan status sosial yang sifatnya sementara alias fana di dalam hidup ini.
Mau tertantang dan mengubah paradigma berpikir dan pola hidup???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar