Kebebasan Beragama:
dalam Terang Deklarasi Dignitatis Humanae
Artikel Pertama
I Pendahuluan
Negara Indonesia adalah negara yang plural dalam hal agama dan aliran kepercayaan. Kendatipun demikian, di tengah realitas yang pluralistik tersebut hadir juga denominasi besar yang menjadi golongan mayoritas di negeri ini yakni: agama Islam. Adanya golongan mayoritas dalam suatu negara terkadang selalu menimbulkan kekuatiran di kalangan minoritas akan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas. Peta sejarah bangsa ini sejak kemerdekaannya hingga beberapa tahun terakhir ini diwaranai juga tendensi tirani mayoritas terhadap minoritas. Isu-isu SARA yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok radikal telah menimbulkan luka yang dalam bagi kaum minoritas. Tengok saja mulai dari kerusuhan Poso, Ambon, peristiwa pembakaran berbagai fasilitas umum termasuk rumah-rumah ibadat Katolik dan Kristen yang terjadi tahun 1996 di Situbondo dan Majalaya, sampai dengan usaha gencar pemberlakuan Syariat Islam di negara Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta menganut sistem pemerintahan yang demokratis. Dari rangkaian fenomena tersebut, lantas kita bertanya: apakah bangsa Indonesia tidak menghargai realitas pluralisme agama dan kebenaran yang terkandung di dalamnya? Apakah bangsa Indonesia tidak menghargai kebebasan beragama antar para warganya? Lalu, apakah Gereja Katolik sebagai salah satu golongan minoritas di negeri ini juga mempunyai potensi menjadi tirani mayoritas di negara lain? Oleh karena itu, penting dilihat bagaimana sikap Gereja Katolik sendiri untuk menyikapi kesadaran baru akan realitas pluralisme dunia dan kebenaran termasuk dalam agama. Dalam kaitannya dengan hal itu, kebebasan beragama sebagai salah satu Hak Asasi Manusia mendapatkan perhatian khusus Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Deklasi Dignitatis Humanae. Namun, untuk kepentingan tulisan ini, kami hanya memfokuskan diri pada artikel satu. Setelah dilihat ajaran Gereja Katolik tentang pokok tersebut, akan dilihat juga realitas kebebasan beragama di Indonesia baik dalam idealisme maupun praksisnya dalam terang ajaran Gereja Dignitatis Humanae art. 1.
II Kebebasan Beragama Menurut Dokumen Deklarasi Dignitatis Humanae art. 1
Dokumen ini terdiri dari dua bagian dengan jumlah keseluruhan artikelnya ada limabelas buah. Namun, untuk tujuan tulisan ini akan dilihat pengantar dokumennya saja (DH art. 1). Dalam pendahuluan dokumen ini kita akan menemukan alasan mengapa Gereja merasa perlu untuk meneliti dan mengeluarkan sebuah deklarasi tentang kebebasan beragama. Hal ini tidak telepas dari perubahan paradigama dalam teologi dan praksis hidup Gereja Katolik sendiri terhadap agama-agama lain yang berubah sejak Konsili Vatikan II. Sejak Vatikan II, Gereja mulai menghargai adanya kebenaran di luar agama Katolik. Oleh karena itu, perlu digagas suatu pegangan untuk bagaimana seharusnya bersikap terhadap keyataan akan adanya pluralisme kebenaran di luar Gereja Katolik sendiri. Salah satunya adalah dekrit tentang “kebebasan beragama”.
Dekrit tentang “kebebasan beragama” ini bertolak dari beberapa kesadaran baru yang tumbuh dalam dunia dewasa ini. Dalam artikel pertama domumen ini, kita temukan dasarnya yang pertama yakni: kesadaran dan penghargaan atas martabat pribadi manusia yang semakin meluas. Gereja menyadari bahwa penghargaan terhadap arti penting martabat manusia kian meluas. Hal ini nyata dalam deklarasi PBB akan pentingnya menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak dasar manusia yang diperoleh sejak lahirnya. Deklarasi tentang HAM ini semakin diterima luas oleh bangsa-bangsa di dunia. Salah satu poin HAM adalah kebebasan seseorang untuk memilih dan memeluk suatu agama tertentu tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Karena itu, Gereja sadar bahwa aspek penghargaan terhadap kebebasan beragama adalah merupakan salah satu upaya untuk menghargai martabat pribadi manusia.
Kedua, dikatakan juga bahwa “makin banyak orang yang menuntut supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan dari pihak manapun.” Penghargaan terhadap kebebasan yang bertanggung jawab bagi setiap orang dalam bertindak erat terkait dengan penghargaan terhadap otonomi pribadi dalam memutuskan sesuatu berdasarkan tuntunan suara hatinya. Karena melalui tuntunan suara hatinya, setiap orang bisa mencari sendiri dan menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Kebenaran yang dianut secara bebas menurut pertimbangan nuraninya secara bertanggung jawab harus dihargai. Dengan demikian, pemaksaan oleh pihak manapun untuk bertindak melawan suara hatinya sendiri termasuk dalam memilih suatu agama maupun menghalang-halangi seseorang mengungkapkan iman dan kepercayaannya baik secara pribadi maupun secara kolektif di depan umum adalah tidak benar.
Ketiga, banyak juga yang menuntut agar wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, agar batas-batas kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompok jangan dipersempit. Erat terkait dengan hal ini adalah pengamalan agama secara bebas dalam masyarakat yang tidak dibatasi oleh negara. Maksudnya, Konsili mau mengatakan bahwa penting menghargai kebebesan seseorang untuk menuruti suara hatinya dalam mengamalkan ajaran agama sebagai kebenaran yang dianutnya baik secara pribadi maupun kolektif. Karena itu, segala kuasa manusiawi manapun termasuk negara tidak dapat menghalang-halangi ekspresi keagamaan seseorang baik secara individual maupun kolektif. Jika terjadi bahwa seseorang dilarang mengamalkan agamanya secara bebas dalam masyarakat, maka yang terjadi sesungguhnya adalah ketidakadilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan Allah baginya. Karena bagaimana pun juga tindakan-tindakan keagamaan perseorangan maupun bersama untuk mengarahkan diri kepada Allah “mengatasi tata duniawi yang fana..” Oleh karena itu, Konsili mengimbau agar pemerintah yang berkewajiban mengusahakan kesejahteraan umum wajib mengakui kehidupan beragama para warganya dan mendukungnya. Apabila pemerintah memberanikan diri mengatur dan merintangi kegiatan-kegiatan religius, maka tindakannya melampai batas wewenangnya.
Itulah ketiga alasan mengapa Konsili mengeluarkan dokumen ini guna mempertimbangkan aspirasi-aspirasi tersebut dan mau menegaskan bahwa semuanya itu selaras dengan asas kebenaran dan keadilan. Dalam kerangka ini, maka seturut spiritnya, Konsili meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja untuk menggali harta baru yang senatiasa selaras dengan khazanah lama. Artinya, Konsili mencoba untuk melihat kebenaran di luar agama lain tanpa harus menegasi tradisi dan keyakinan Gereja Katolik sendiri.
Oleh karena itu, untuk mempertahankan tradisi, Konsili kembali mengaskan bahwa satu-satunya agama yang benar itu berada dalam Gereja Katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus sendiri diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Dari pernyataan ini, kita bisa melihat bahwa sepertinya ada kontradiksi dengan menghargai “kebebasan beragama”. Mengapa? Di satu sisi, dengan pernyataannya tentang pentingnya kebebasan beragama, bukankah berarti juga bahwa Gereja mengakui kebenaran yang terkandung di luar Gereja Katolik? Di sisi lain, pernyataan bahwa “satu-satunya agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik” bukankah menjadi sebuah langkah mundur ke masa-masa sebelum Konsili Vatikan II yang berprinsip “di luar Gereja tidak ada keselamatan?” Bukanlakah dengan demikian Gereja kembali jatuh dalam fanatisme religius atau sikap ekslusivisme yang jelas bertentangan dengan spirit zaman yang menghargai pluralisme kebenaran?
Akan tetapi, perlulah diingat bahwa dengan pernyataanya ini Gereja hendak menegaskan sikap dasarnya yang harus dipegang teguh oleh para pemeluknya. Gereja tidak mau jatuh dalam relativisme terhadap kebenaran agamanya sendiri. Dalam hubungannya dengan umat beragama lain, Gereja Katolik menunjukkan adanya empat macam sikap yang mungkin terjadi.[1] Pertama, sikap eksklusif yang memandang bahwa keselamatan hanya ada dalam Gereja, sedangkan di luar Gereja tidak ada keselamatan. Kedua, sikap inklusif yang mengakui pewahyuan dalam agama lain dan meyakini bahwa orang beragama lain juga akan diselamtakan melalui Yesus Kristus, juga jika mereka tidak meyadari atau mengakuinya. Ketiga, sikap pluralis yang menganggap “semua agama sama saja” yang bisa membuat orang kurang menyadari makna mendalam dari agama yang dipilih dan dipeluknya sendiri. Keempat, sikap pluralis berintegritas terbuka yang mengakui dan menerima kekhasan agama masing-masing sekaligus saling belajar dari yang lain. Seorang yang pluralis berintegrasi terbuka akan berkata: “saya meyakini bahwa agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling benar bagi saya karena itu saya anut dengan sepenuh hati. Namun, kekhasan masing-masing agama dan kebebasan beriman dan beragama orang lain saya akui dan terima. Dengan dialog saya dapat menyumbangkan kekayaan iman saya dan saya juga dapat menerima kekayaan dari agama dan penghayatan iman orang lain.” Sikap terakhir inilah yang diakui oleh Gereja Katolik sebagai sikap yang terbaik untuk berhadapan dengan umat yang berlainan agama atau kepercayaan.
Dengan demikian, pernyataan Gereja di atas harus dibaca dalam terang sikap yang dimaksudkan pluralis berintegirtas terbuka. Gereja Katolik tidak mau jatuh dalam sikap pluralisme yang menganggap semua agama sama saja. Oleh karena itu, Konsili menegaskan bahwa “semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebanaran tersebut, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya” ( DH 1. par. 3).
Selain itu, Konsili mau menegaskan bahwa kebebasan beragama yang termasuk dalam salah satu pokok Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah yang dimaksudkan lebih terkait dengan “kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat” dan Konsili bermaksud mengembangkan ajaran para Paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat serta tentang penataan yuridis masyarakat.[2] Konsili tidak bermaksud merelatifisir keyakinan asali Gereja dengan menegaskan sekali lagi bahwa “kebebasan itu tidak mengurangi ajaran Katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap Agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus.”
Dengan demikian, dari artikel ini nyata bahwa Gereja Katolik mengakui pluralisme agama dan mengakui bahwa dalam agama-agama lain pun ada kebenaran. Selain itu, Gereja Katolik juga memberi penghargaan tinggi kepada kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya. Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik Indonesia sendiri? Sebagai bagian dari Gereja universal, Gereja Katolik Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dan kepercayaan di Indonesia dan mengakui adanya kebenaran dalam agama dan kepercayaan lain. Lalu, bagaimana relevansinya bagi kehidupan beragama di Indonesia?
III Kebebasan Beragama di Indonesia
Negara Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dalam masyarakat Indonesia. Dan negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Pengakuan ini dieksplisitkan dalam sila pertama Pancasila dan dalam Pembukaan UUD 1945. Pengakuan resmi ini merupakan usaha kompromi antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam pada awal terbentuknya negara Indonesia. Pada mulanya, kelompok Islam menuntut dimasukkan tujuh kata yang terkandung dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, ke dalam sila I Pancasila yaitu: “serta kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penganutnya.” Tujuannya, untuk memberlakukan hukum syariat dalam segala aspek kehidupan umat Islam. Namun usaha ini gagal dan akhirnya disepakati hanya Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengakuan akan adanya Tuhan ini memberi landasan bagi pengakuan akan pluralisme agama dan kepercayaan, dan pengakuan akan kebebasan dalam menganut agama dan menjalankan ibadah bagi setiap warga negara. Dengan demikian, para pendiri bangsa telah mengantar kita kepada pemahaman akan kerukunan antara umat beragama dan penghargaan akan perbedaan sebagai kekayaan.
Dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2 dikatakan: “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2). Rumusan-rumusan di atas menunjukkan bahwa di negri ini semua agama berkedudukan sama di mata hukum. Maka, pemerintah dan negara berperan penting untuk menjamin agar hak warga negara berkaitan dengan kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat tidak ditindas dan dihalangi oleh kelompok lain termasuk oleh golongan mayoritas.
Namun, idealisme terkadang tidak sejalan dengan praksis hidup. Demikianpun idealisme yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak selalu sejalan dengan realitas yang berkembang. Sejak bangsa ini merdeka hingga sekarang ini idealisme ini justru mendapatkan tantangan dari warga negaranya sendiri. Pada era Orde Baru, Pancasila bukan lagi menjadi tata nilai yang senantiasa digeluti dan didalami, melainkan dipaksakan untuk menjadi ideologi bagi semua partai politik dan organisasi masa. Kebebasan beragama dipersempit menjadi agama yang resmi diakui oleh negara yakni: Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu. Pada masa itu, orang dipaksa untuk memimilih salah satu dari kelima agama yang diakui. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip kebebasan beragama, karena negara tidak berhak memaksakan warganya masuk ke dalam salah satu dari kelima agama tersebut. Pembatasan hanya dalam lima agama yang diakui juga menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah berlaku tidak adil terhadap agama-gama di luar itu yang lazim disebut sebagai aliran kepercayaan (Kebatinan, Agama Jawa-Sunda, Konghucu, Zen, dll). Orang yang tidak menganut salah satu dari kelima agama tersebut bisanya diperlakukan tidak adil di depan hukum.
Selain itu, wacana mengenai pemberlakuan syariat Islam yang dibungkam pada masa orde baru mencuat kembali dalam tahun-tahun belakangan ini. Peluang berlakunya syariat Islam di Indonesia semakin terbuka lebar setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001. Walaupun dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa urusan politik dan agama berada dalam wewenang pusat, namun beberapa daerah mengartikan otonomi sebagai kebebasan membuat aturan sendiri juga mengenai syariat Islam. Terkabulnya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Aceh mendorong daerah-daerah lain, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat menuntut hal yang sama. Tampilanya kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam merupakan bagian dari upaya-upaya untuk menegakan hukum Islam. Akan tetapi, survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (SLI) Oktober 2006[3] menyebutkan bahwa dari 1.092 informan yang diwawancarai mengatakan, 80 persen umat Islam Indonesia menganggap bahwa Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam. Demokrasi sudah searah dengan Islam, dan demokrasi senapas dengan Pancasila. Hanya 5 persen yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Sementara itu, dukungan terhadap organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti terhadap Majelis Mujahidin Indonesia yang pro syariat Islam hanya 16,1 persen, dan 17,4 persen mendukung jemaah Islamiah.
Data survei SLI di atas dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengukur bagaimana sebenarnya respons umat Islam atas maraknya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia yang diawali dengan bermunculannya perda-perda bernuansa syariat Islam, seperti Peraturan Daerah (Perda) Minuman Keras, Perda Pelacuran, Perda Jilbab, dll. Di DIY ada usulan perlunya sebuah Perda bagi wanita pegawai pemerintahan dan pelajar-mahasiswa DIY yang diusulkan oleh Forum Umat Islam Yogyakarta. Walaupun demikian, jelas bahwa sebagian besar umat Islam tidak menyetujui pelaksanaan hukum syariat Islam yang dikontrol oleh negara, sebab dikhawatirkan akan melahirkan pemaksaan dan hilangnya kebebesan dalam beragama baik bagi umat Islam sendiri maupun umat non-Islam. Kelompok minoritas juga tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam, karena jika syariat Islam diberlakukan, maka mereka akan menjadi warga negara nomor dua dan tidak memiliki hak yang sama dengan kaum muslim yang mayoritas di depan hukum.
Carut-marut kehidupan beragama di Indonesia yang bertendensi tirani mayoritas juga dipengaruhi oleh kebijakan publik yang tidak pluralis, yang menciptkan persoalan antar umat beragama. Misalnya, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) no. 10/BER/MDN-MAG/1969 tentang pendirian rumah ibadat. Surat keputusan ini tidak sejalan dengan semangat pluralis Pancasila dan UUD 1945 karena tidak menguntungkan bagi kelompok agama minoritas. Kalangan minoritas menjadi kesulitan dan dipersulit dalam membangun rumah ibadat karena tidak mendapat izin dari otoritas lokal. Dan bahkan tempat-tempat ibadat yang sudah dibangun banyak yang ditutup secara paksa oleh umat beragama tertentu dengan alasan tidak mendapat izin dan menimbulkan keresahan di kalangan warga setempat, padahal orang sangat memerlukan tempat ibadat. Pemerintah sendiri yang seharusnya bertugas mengusahakan kesejahteraan umum sepertinya tidak menunjukkan upaya yang serius untuk menyelesaikan masalah ini.
Semua situasi yang berkembang di Indonesia sepertinya mau menunjukkan bahwa pengakuan akan fakta pluralisme agama masih jauh dari harapan, bahkan justru kebencian terhadap agama tertentu yang berbuntut pada tindakan anarkisme menjadi pemandangan yang lazim di tengah masyarakat.[4]
IV Relevansi Dignitates Humanae (Artikel 1) Tehadap Perjuangan Menegakan Kebebasan Beragama di Indonesia.
Agama merupakan sosialisasi pengalaman iman, pengalaman disentuh oleh Yang Ilahi. Pengalaman ini memberikan makna kehidupan dan membuat manusia menyerahkan diri kepada-Nya. Sosialisasi pengalaman iman itu terwujud dalam persekutuan, ajaran, dan ibadat yang mendorong orang secara individual atau komunal untuk melaksanakannya dalam hidup dan keterlibatan sehari-hari.
Akan tetapi, perlu disadari bahwa yang diimani oleh manusia mengatasi segalanya. Allah tidak mungkin ditangkap sepenuhnya oleh kenyataan dunia ini, juga tidak oleh agama manapun. Seandainya tidak demikian, berarti bahwa Allah dapat dibatasi dan dikuasai oleh kenyataan dunia. Setiap agama mengkomunikasikan pengalaman itu melalui simbol-simbol verbal dan non-verbal. Melalui simbol-simbol tersebut manusia secara terbatas menghayati relasinya dengan Allah. Semua agama mempunyai keunikan masing-masing sesuai dengan sejarah pengalaman iman masing-masing. Keunikan itu tampak dalam simbol-simbol yang ada dalam agama masing-masing yang merupakan sarana berhubungan dengan Allah. Mengakui dan menerima pluralisme agama seperti yang menjadi salah satu sasaran Dignitatis Humanae art. 1, tidak hanya berarti mengakui adanya fakta kemajemukan agama, tetapi sekaligus mengakui kenyataan bahwa simbol-simbol agama manapun mengungkapkan hubungan dengan Allah yang juga terbatas sifatnya. Menerima realitas pluralisme agama seperti yang ada di Indonesia berarti menerima keterbatasan simbol-simbol tersebut dan oleh karena itu diperkaya oleh dan dan memperkaya simbol-simbol agama lain. Inilah sikap pluralis yang berintegritas terbuka seperti yang diharapakan oleh Gereja Katolik.
Oleh karena itu, Dignitatis Humanae art. 1 mengajak semua insan Indonesia agar mempunyai tangung jawab bersama untuk membuka diri, diperkaya, dan memperkaya yang lain. Untuk dapat mejalankan tanggung jawab itu, manusia memerlukan kebebasan dalam menggunakan dan memperkembangkan simbol-simbol yang ada dalam agamanya masing-masing. Keyakinan mengenai agama pilihan saya yang paling dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat menjadi alasan untuk memaksakan agama saya kepada orang lain. Di sini harus dibedakan antara kebenaran dan kebebasan. Menjunjung tinggi kebebasan berarti memberi ruang kepada orang lain untuk memilih kebenaran yang menurut suara hatinya paling dapat dipertanggungjawabkan, juga apabila hal itu saya anggap kurang atau tidak tepat. Kenyataan bahwa saya memilih agama ini dan bukan agama itu tidak berarti bahwa saya berada dalam keadaan sempurna dalam memahami dan menempatkan Yang Ilahi beserta seluruh kenyataan hidup. Dalam paradigma holistik, setiap orang dalam setiap kelompok mempunyai sumbangan dalam keseluruhan dan keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Penghargaan tulus kepada umat beragama lain dan kesediaan belajar dari mereka tidak mengambil sikap “semua agama sama saja”. Inilah yang mau dihindari oleh Gereja katolik. Karena seandainya semua agama sama saja maka satu sama lain tidak akan dapat saling memperkaya. Semua mempunyai sumbangan satu terhadap yang lain justru karena semua agama tidak sama. Tanpa kemampuan untuk menerima sumbangan dari agama lain, orang atau kelompok akan dirugikan dan begitupun secara keseluruhan. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia. Dialog dan kerja sama antar umat beragama merupakan kewajiban dan tanggung jawab asasi juga.
Kewajiban-kewajiban tersebut mengajak umat beragama menolak kerukunan atau harmoni palsu, yang menutupi perbedaan-perbedaan, untuk mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan, untuk mengakui dan menerima pluralisme dengan senang hati, sebab dengan demikian hidup beragama akan saling memperkaya. Harmoni palsu seolah-olah menampilkan sikap terbuka, namun tidak cukup serius menghargai kekhasan agama masing-masing sebagai tradisi yang hidup. Sikap yang tepat adalah “mengakui dan menerima kehasan agama masing-masing sekaligus terbuka untuk saling belajar dari yang lain.” Sikap ini berarti memasuki dialog dengan integritas jelas dan keterbukaan yang tulus. Seorang dengan sikap tersebut dapat berkata “saya meyakini agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling benar bagi saya dan karena itu saya anut dengan senang hati. Namun, kekhasan masing-masing agama dan kebebasan beriman dan beragama orang lain saya terima dan akui.” Melalui dialog saya bisa menerima kekayaan dari agama dan keyakinan orang lain.
V Kesimpulan
Pengakuan akan kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan lain seperti yang tertuang dalam Deklarasi Dignitatis Humanae (art. 1) mau menunjukkan penghargaan Gereja terhadap kebebasan manusia. Gereja beranggapan bahwa kebebasan sebagai hak asasi yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang sesuai dengan kodratnya sebagai ciptaan dan citra-Nya. Setiap orang berhak, tanpa paksaan dari pihak manapun baik negara maupun masyarakat dan umat beragama tertentu, mempergunakan kebebasannya untuk memilih dan menentukan apa yang paling baik dan benar menurut tuntunan hati nuraninya sendiri, termasuk untuk memilih dan menentukan agama dan kepercayaan yang mau dianutnya. Maka, penghargaan terhadap kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat adalah perwujudan dari penghargaan terhadap martabat pribadi manusia. Dengan memberi pengakuan akan kebebasan beragama, Gereja Katolik meninggalkan pola pikir lama bahwa yang salah tidak memiliki kebenaran.
Di Indonesia sendiri, hak setiap warga untuk memeluk agama dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya diakui. Pengakuan ini secara eksplisit tercantum dalam sila pertama Pancasila dan pembukaan UUD 1945, aliena ketiga dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal ke-29. Dengan demikian, sesungguhnya bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya telah mengakui fakta pluralisme agama dan kepercayaan di kalangan rakyatnya dan memberi perlindungan hukum yang sama kepada setiap agama dan warga negara. Namun cita-cita luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak sepenuhnya terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari. Kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok minoritas atas nama agama mayoritas sering terjadi. Pandangan mayoritas dan minoritas turut menghambat terciptanya kerukunan. Agama seringkali tidak dipandang sebagai institusi moral yang mengajarkan nilai-nilai yang harus dihidupi untuk menciptakan kesejahteraan bersama, melainkan sebagai ideologi yang sempurna. Akibatnya, agama lain tidak lagi dilihat sebagai partner untuk menciptakan kesejahteraan bersama melainkan sebagai saingan yang harus dienyahkan. Untuk dapat mengatasi situasi ini perlu adanya dialog yang terbuka dan tulus antar umat beragama dan kepercayaan. Tujuannya, untuk saling memperkaya bukan untuk menyamakan agama atau untuk saling menguasai. Dasar dari dialog adalah kesadaran bahwa tidak ada agama yang secara penuh dan sempurna dapat mewadahi Allah. Dialog yang benar dan sehat akan semakin membentuk kesadaran akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan serta dapat memperkaya penghayatan iman dalam masing-masing agama.
End Note:
[1] Disarikan dari dokumen berjudul “Integritas yang Terbuka: Landasan Teologis Gereja Katolik untuk Hubungan Antar Umat Beriman”, dipetik dari buletin Hak Kerukunan no. 103, tahun ke-17, Juli-September 1997.
[2] Ajaran-ajaran para Paus tentang hal ini mencakup: Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris, 11 April 1963, Pius XII, Amanat Radio, 24 Desember 1944, Pius XI, Ensiklik mit Brenneder Sorge, 14 Maret 1937, Leo XIII, Ensiklik Libertas Praestatissimum, 20 Juni 1888.
[3] Zuly Qodir, “Stabilitas Politik dan Syariat Islam”, dalam Kompas , 29 November 2006.
[4] Bandingkan dengan kasus pembakaran Gereja pada penghujung 1996 di Situbondo dan Tasikmalaya. Persoalan yang semulanya spele bisa berubah menjadi tindakan anarkisme yang terorganisir yang menunjukkan arogansi mayoritas terhadap kaum minoritas. Rupanya, kecemburuan sosial dan ekonomis juga menjadi salah satu faktor penyulut kebencian, Refleksi Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya 26-27 Desember 1996, Keuskupan Bandung, 1997.
Daftar Pustaka
Dokumen Konsili Vatikan II, ter. R. Hardawiryana, SJ, DOKPEN KWI, Jakarta: Obor, 1993.
Kampschulle, Theoore, Situasi HAM di Indonesi: Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan, Mission, (tanpa tahun).
Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, Terbuka terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, Komisi Kerawam KWI, Jakarta: Kanisius, 2004.
Sumartana, Th., dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Intefidei, 2001
Zuly Qodir, “Stabilitas Politik dan Syariat Islam”, dalam Kompas , 29 November 2006