Kamis, Juni 25, 2009

BERIMAN DI TENGAH GEMPURAN INOVASI IPTEK

BERIMAN DI TENGAH GEMPURAN INOVASI IPTEK

Rene Descartes yang menjadi “simbah” atau ‘dedengkot’ kemodernan mencetuskan pemikiran revolusioner dalam dunia modern yang teringkas dalam sebuah frasa terkenal: “Cogito ergo sum” (bahasa Latin) yang artinya “aku berpikir, maka aku ada.” Pemikirannya ini menandai titik balik dalam kehidupan manusia hingga saat ini. Mengapa??? Sejak Descartes, yang masih layak disebut manusia adalah “mereka yang mampu berpikir,” yang mampu menggunakan akal budi atau rasionalitasnya untuk dapat hidup atau bertahan di dunia ini.

Hal inilah yang melahirkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi mutkhir yang dapat mempermudah kehidupan manusia. Pada titik ini, IPTEK pun merasa diri dapat menjadi “allah” baru dalam kehidupan manusia. IPTEK menggantikan kedudukan Allah di dalam hati dan pikiran umat manusia. Peran serta Allah dalam kehidupan umat manusia perlahan-lahan digeser, karena Allah hanya diyakini menciptakan alam semesta dan segala isinya termasuk manusia, tetapi tidak punya relevansi konkret lagi bagi pergulatan hidup manusia untuk menjawab kebutuhan hidupnya sehari-hari (deisme). Semua mata tertuju pada IPTEK yang diharapkan dapat menakhlukan keganasan alam semesta dan mampu menyingkapkan semua misteri yang terkandung di dalam alam semesta maupun yang ada di dalam diri manusia itu sendiri.

Akan tetapi, dewasa ini, para ilmuwan mulai sadar bahwa “rasionalitas” atau "akal budi" manusia tetaplah terbatas. IPTEK yang adalah anak kandung dari rasionalitas ternyata tidak mampu memecahkan semua persoalan hidup manusia, karena disadari juga bahwa dunia ini penuh dengan "lautan misteri" yang tidak dapat disingkapkan seluruhnya oleh “akal budi” manusia yang hanya sepotong itu.

Selain itu, IPTEK ternyata melahirkan juga penderitaan baru bagi manusia. Mengapa? Karena di satu sisi, IPTEK mampu membuat hidup manusia lebih diermudah dengan efektivitas dan efesiensi melalui alat bantu berupa produk-produk yang dihasilkan IPTEK. Contoh: pikiran kita sudah dipermudah kerjanya oleh kalkulator; tangan kita dipermudah oleh mesin-mesin produksi; kaki kita dipermudah oleh alat-alat transportasi; mata kita dipermudah oleh kaca mata dan media massa baik elektronik maupun cetak; mulut kita dipermudah oleh aneka pengeras suara; dll. Intinya, produk-produk kemodernan memang telah membuat hidup kita dipermudah alias lebih efisien dan efektif. Namun, sadar ataupun tidak, kita sesungguhnya perlahan-lahan telah diperbudak atau dikontrol oleh mesin-mesin dan alat-alat yang dihasilkan oleh IPTEK.

Jangan dikira bahwa kita-lah yang mengontrol semua alat tersebut. Pada titik tertentu produk-produk IPTEK menjadi otonom dan tidak mudah untuk dikontrol lagi. Contoh: apa yang terjadi jika listrik mati? Kita menjadi lumpuh dan seolah tanpa daya, tidak bisa bekerja atau beraktivitas tanpa listrik. Mengapa? Karena semua aktivitas kita di kantor, di kampus, di rumah, dan di mana-mana sangat bergantung pada listrik. Komputer yang menjadi pusat aktivitas kita tidak lagi bisa dioperasikan, ketika listik mati. Pada titik ini, kita sudah didikte atau dikendalikan oleh IPTEK. Orang yang memakai ponsel pun perlahan-lahan dikendalikan oleh ponsel. Mengapa? Karena ada orang yang tanpa ponsel, rasanya tidak bisa hidup. Tidak mendapatkan sms satu biji pun dalam sehari, menjadi gelisah. Tentu contoh ini terlalu naif dan radikal. Akan tetapi, itu hanya contoh kecil bahwa ternyata bukan kita lagi yang mengontrol semua produk IPTEK tersebut, melainkan kita-lah yang perlahan-lahan dikendalikan oleh mereka yang adalah hasil atau ciptaan kreatif dari “akal budi” atau “rasio” kita.

Lalu, apakah lantas kita harus kembali ke alam alias “back to nature” seperti Tarzan atau suku “Badui Dalam” yang tidak mau dicemarkan oleh IPTEK dan produknya??? Sikap ini, tentulah tidak realistis, karena kita tidak mungkin memutar waktu dan sejarah untuk kembali lagi ke zaman “jadul” atau zaman pra-sejarah atau zaman-nya Tarzan. Kita harus tetap menceburkan diri dalam dunia kita dengan aneka perkembangan atau inovasi gila-gilaan yang tak terbendung oleh kuasa apa pun dan mana pun juga. Di sini, dibutuhkan integritas diri yang kokoh agar tidak tergerus oleh arus zaman dan upayakan agar mengurangi tendensi untuk dikendalikan oleh produk-produk IPTEK yang ada.

Sadarlah juga bahwa “rasionalitas” atau “akal budi” bukanlah segalanya dalam hidup ini. Ada wilayah-wilayah lain yang masih gelap dan tidak mampu disingkapkan oleh “akal budi” kita yang terbatas. Inilah "wilayah misteri" yang untuk saat ini masih jauh lebih banyak daripada yang sudah disingkapkan oleh IPTEK. Dan biarkanlah iman yang lebih terkait dengan emosi dan intuisi diberi ruang di dalam wilayah ini. Bukan berarti, kita jatuh dalam fundamentalisme radikal yang menolak IPTEK sebagai setan atau demon, yang buntutnya, melahirkan “iman buta,” yang merupakan bentuk perlawanan kiri atas arogansi IPTEK dan para ilmuwan kiri (ateis) yang menolak eksistensi Allah sebagai sebuah fakta dan kebenaran eksistensial yang sungguh berperan aktif dengan cara-Nya sendiri yang tidak mudah dipahami oleh keterbatasan “rasionalitas” kita, melainkan tetaplah bersikap arif yang mau terbuka bagi kemajuan IPTEK namun tanpa menyembahnya sebagi “allah baru” yang mampu menjawab semua pertanyaan eksistensial atau mendasar dalam hidup manusia, yang diyakini mampu menggatikan eksistensi Allah yang hidup yang kita imani dan kita sembah seperti yang diwahyukan di dalam Kitab Suci agama kita masing-masing.

Sebab Allah yang kita kenal adalah Allah yang hidup, yang setiap saat menyapa keseharian hidup kita, melalui peristiwa dan pengalaman hidup kita sehari-hari. Kuncinya, biarkanlah sensitivitas iman kita atau intuisi iman kita tetap hidup dan jangan sampai menjadi tumpul atau mati. Allah yang ditolak oleh para filsuf dan para ilmuwan ateis adalah bukan Allah yang hidup, melainkan “allah konseptual” atau 'allah yang mati.' Karena ketika Allah menjadi sekedar sebuah konsep, maka Allah yang 'hidup' menjadi 'mati' karena dibatasi oleh kata-kata manusiawi kita yang pada dasarnya tetaplah terbatas.

F. Nietze mengumandangkan bahwa “allah telah mati,” dan allah yang dimaksdkannya adalah allah konseptual dan bukan Allah yang hidup seperti diwahyukan dalam Kitab Suci agama kita masing-masing. Allah yang kita imani dan kita yakini sebagai satu-satunya yang mampu menjawab semua persoalan hidup kita atau Dia yang menjadi asal dan tujuan (alifa dan omega) hidup kita adalah Allah yang melampui sekedar konsep-konsep atau dogma-dogma.

Dan Dia mengundang kita pada setiap detik hidup kita untuk mencintai Dia dengan segenap hati, segenap budi, segenap pikiran, seluruh tubuh, dan seluruh totalitas hidup kita. Allah begitu dekat dan sudah selalu hadir dalam hidup kita, asalkan hati kita mau terbuka kepada-Nya dan biarkan-lah pintu hati kita terbuka lebar-lebar bagi pewahyuan diri-Nya yang penuh cinta dan pembebasan. Karena itu, jangan sampai nurani atau hati kita menjadi tumpul, sehingga tidak mampu lagi menangkap gerak-gerik kehadiran Allah yang terkadang sangat kasat-mata di dalam setiap pengalaman hidup kita dan tidak mudah terdeteksi jika hanya akal budi yang kita andalkan dalam kehidupan kita.

Dengan demikian, rasionalitas saja tidak cukup. Instuisi dan emosi yang lebih terkait dengan wilayah misteri dan iman, harus juga diberi ruang di dalam kehidupan kita. Ketika kita mengakui bahwa “akal budi” kita terbatas, di sana iman diberi ruang untuk bertumbuh subur dan berbuah dalam hidup. Hidup yang berbuah dari iman akan Allah adalah hidup yang mau ikut serta dalam keprihatinan dan penderitaan sesama dan pederitaan alam semesta yang digempur oleh krisis ekologis. Iman dikatakan berbuah, jika terungkap dalam cinta kasih tanpa syarat kepada sesama tanpa dibatasi oleh sekat-sekat manusiawi termasuk agama di dalamnya. Cinta kasih yang keluar dari iman yang murni dan mendalam akan Allah haruslah bersifat universal dan inklusif. Artinya, menjangkau semua lapisan manusia dan golongan, yang terbuka seluruhnya bagi keprihatinan global tanpa membawa bendera agama tertentu. Inilah inti dari dialog kehidupan dalam kehidupan beragama.

Semoga kita semakin hari, semakin ditantang untuk mau berbagi dengan sesama, apa pun latar belakang kehidupan sosial, warna kulit, ras, dan agama yang dianutnya. Biarkanlah hati kita terbuka seluas dunia dan tidak dubutakan oleh kesempitan cinta diri narsistik, yang menganggap bahwa agamakulah yang paling baik dan benar dan mengkafirkan agama dan keyakinan yang lain. Ketika kita mengkafirkan orang yang menganut agama lain, sesungguhnya kita semakin jauh dari hati Allah yang mau menerima siapa pun dia, apa pun latar belakang agama dan keyakinannya di dalam rangkulan kasih-Nya yang hangat dan membebaskan.

Sebab Allah kita, adalah Allah yang mau menerbitkan matahari dan menurunkan hujan rahmat-Nya baik kepada orang jahat maupun kepada orang baik. Allah kita adalah Allah yang mencintai semua orang tanpa memandang bulu, warn,a dan corak. Ia mencintai kita apa adanya diri kita. Karena itu, kita dintantang untuk mencintai sama seperti cara Allah mencintai yang tidak terbelenggu dalam sentimen suku, ras, dan agama, gender, atau pun strata dan status sosial yang sifatnya sementara alias fana di dalam hidup ini.

Mau tertantang dan mengubah paradigma berpikir dan pola hidup???

Kamis, Desember 06, 2007

Kebebasan Beragama di Indonesia

Kebebasan Beragama: dalam Terang Deklarasi Dignitatis Humanae Artikel Pertama I Pendahuluan Negara Indonesia adalah negara yang plural dalam hal agama dan aliran kepercayaan. Kendatipun demikian, di tengah realitas yang pluralistik tersebut hadir juga denominasi besar yang menjadi golongan mayoritas di negeri ini yakni: agama Islam. Adanya golongan mayoritas dalam suatu negara terkadang selalu menimbulkan kekuatiran di kalangan minoritas akan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas. Peta sejarah bangsa ini sejak kemerdekaannya hingga beberapa tahun terakhir ini diwaranai juga tendensi tirani mayoritas terhadap minoritas. Isu-isu SARA yang dihembuskan oleh kelompok-kelompok radikal telah menimbulkan luka yang dalam bagi kaum minoritas. Tengok saja mulai dari kerusuhan Poso, Ambon, peristiwa pembakaran berbagai fasilitas umum termasuk rumah-rumah ibadat Katolik dan Kristen yang terjadi tahun 1996 di Situbondo dan Majalaya, sampai dengan usaha gencar pemberlakuan Syariat Islam di negara Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945 serta menganut sistem pemerintahan yang demokratis. Dari rangkaian fenomena tersebut, lantas kita bertanya: apakah bangsa Indonesia tidak menghargai realitas pluralisme agama dan kebenaran yang terkandung di dalamnya? Apakah bangsa Indonesia tidak menghargai kebebasan beragama antar para warganya? Lalu, apakah Gereja Katolik sebagai salah satu golongan minoritas di negeri ini juga mempunyai potensi menjadi tirani mayoritas di negara lain? Oleh karena itu, penting dilihat bagaimana sikap Gereja Katolik sendiri untuk menyikapi kesadaran baru akan realitas pluralisme dunia dan kebenaran termasuk dalam agama. Dalam kaitannya dengan hal itu, kebebasan beragama sebagai salah satu Hak Asasi Manusia mendapatkan perhatian khusus Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II yang tertuang dalam Deklasi Dignitatis Humanae. Namun, untuk kepentingan tulisan ini, kami hanya memfokuskan diri pada artikel satu. Setelah dilihat ajaran Gereja Katolik tentang pokok tersebut, akan dilihat juga realitas kebebasan beragama di Indonesia baik dalam idealisme maupun praksisnya dalam terang ajaran Gereja Dignitatis Humanae art. 1. II Kebebasan Beragama Menurut Dokumen Deklarasi Dignitatis Humanae art. 1 Dokumen ini terdiri dari dua bagian dengan jumlah keseluruhan artikelnya ada limabelas buah. Namun, untuk tujuan tulisan ini akan dilihat pengantar dokumennya saja (DH art. 1). Dalam pendahuluan dokumen ini kita akan menemukan alasan mengapa Gereja merasa perlu untuk meneliti dan mengeluarkan sebuah deklarasi tentang kebebasan beragama. Hal ini tidak telepas dari perubahan paradigama dalam teologi dan praksis hidup Gereja Katolik sendiri terhadap agama-agama lain yang berubah sejak Konsili Vatikan II. Sejak Vatikan II, Gereja mulai menghargai adanya kebenaran di luar agama Katolik. Oleh karena itu, perlu digagas suatu pegangan untuk bagaimana seharusnya bersikap terhadap keyataan akan adanya pluralisme kebenaran di luar Gereja Katolik sendiri. Salah satunya adalah dekrit tentang “kebebasan beragama”. Dekrit tentang “kebebasan beragama” ini bertolak dari beberapa kesadaran baru yang tumbuh dalam dunia dewasa ini. Dalam artikel pertama domumen ini, kita temukan dasarnya yang pertama yakni: kesadaran dan penghargaan atas martabat pribadi manusia yang semakin meluas. Gereja menyadari bahwa penghargaan terhadap arti penting martabat manusia kian meluas. Hal ini nyata dalam deklarasi PBB akan pentingnya menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan hak dasar manusia yang diperoleh sejak lahirnya. Deklarasi tentang HAM ini semakin diterima luas oleh bangsa-bangsa di dunia. Salah satu poin HAM adalah kebebasan seseorang untuk memilih dan memeluk suatu agama tertentu tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Karena itu, Gereja sadar bahwa aspek penghargaan terhadap kebebasan beragama adalah merupakan salah satu upaya untuk menghargai martabat pribadi manusia. Kedua, dikatakan juga bahwa “makin banyak orang yang menuntut supaya dalam bertindak manusia sepenuhnya menggunakan pertimbangannya sendiri serta kebebasannya yang bertanggung jawab, bukannya terdorong oleh paksaan dari pihak manapun.” Penghargaan terhadap kebebasan yang bertanggung jawab bagi setiap orang dalam bertindak erat terkait dengan penghargaan terhadap otonomi pribadi dalam memutuskan sesuatu berdasarkan tuntunan suara hatinya. Karena melalui tuntunan suara hatinya, setiap orang bisa mencari sendiri dan menemukan kebenaran bagi dirinya sendiri. Kebenaran yang dianut secara bebas menurut pertimbangan nuraninya secara bertanggung jawab harus dihargai. Dengan demikian, pemaksaan oleh pihak manapun untuk bertindak melawan suara hatinya sendiri termasuk dalam memilih suatu agama maupun menghalang-halangi seseorang mengungkapkan iman dan kepercayaannya baik secara pribadi maupun secara kolektif di depan umum adalah tidak benar. Ketiga, banyak juga yang menuntut agar wewenang pemerintah dibatasi secara yuridis, agar batas-batas kebebasan yang sewajarnya baik pribadi maupun kelompok jangan dipersempit. Erat terkait dengan hal ini adalah pengamalan agama secara bebas dalam masyarakat yang tidak dibatasi oleh negara. Maksudnya, Konsili mau mengatakan bahwa penting menghargai kebebesan seseorang untuk menuruti suara hatinya dalam mengamalkan ajaran agama sebagai kebenaran yang dianutnya baik secara pribadi maupun kolektif. Karena itu, segala kuasa manusiawi manapun termasuk negara tidak dapat menghalang-halangi ekspresi keagamaan seseorang baik secara individual maupun kolektif. Jika terjadi bahwa seseorang dilarang mengamalkan agamanya secara bebas dalam masyarakat, maka yang terjadi sesungguhnya adalah ketidakadilan terhadap pribadi manusia dan tata sosial yang ditetapkan Allah baginya. Karena bagaimana pun juga tindakan-tindakan keagamaan perseorangan maupun bersama untuk mengarahkan diri kepada Allah “mengatasi tata duniawi yang fana..” Oleh karena itu, Konsili mengimbau agar pemerintah yang berkewajiban mengusahakan kesejahteraan umum wajib mengakui kehidupan beragama para warganya dan mendukungnya. Apabila pemerintah memberanikan diri mengatur dan merintangi kegiatan-kegiatan religius, maka tindakannya melampai batas wewenangnya. Itulah ketiga alasan mengapa Konsili mengeluarkan dokumen ini guna mempertimbangkan aspirasi-aspirasi tersebut dan mau menegaskan bahwa semuanya itu selaras dengan asas kebenaran dan keadilan. Dalam kerangka ini, maka seturut spiritnya, Konsili meneliti Tradisi serta ajaran suci Gereja untuk menggali harta baru yang senatiasa selaras dengan khazanah lama. Artinya, Konsili mencoba untuk melihat kebenaran di luar agama lain tanpa harus menegasi tradisi dan keyakinan Gereja Katolik sendiri. Oleh karena itu, untuk mempertahankan tradisi, Konsili kembali mengaskan bahwa satu-satunya agama yang benar itu berada dalam Gereja Katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus sendiri diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa muridKu dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Dari pernyataan ini, kita bisa melihat bahwa sepertinya ada kontradiksi dengan menghargai “kebebasan beragama”. Mengapa? Di satu sisi, dengan pernyataannya tentang pentingnya kebebasan beragama, bukankah berarti juga bahwa Gereja mengakui kebenaran yang terkandung di luar Gereja Katolik? Di sisi lain, pernyataan bahwa “satu-satunya agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik” bukankah menjadi sebuah langkah mundur ke masa-masa sebelum Konsili Vatikan II yang berprinsip “di luar Gereja tidak ada keselamatan?” Bukanlakah dengan demikian Gereja kembali jatuh dalam fanatisme religius atau sikap ekslusivisme yang jelas bertentangan dengan spirit zaman yang menghargai pluralisme kebenaran? Akan tetapi, perlulah diingat bahwa dengan pernyataanya ini Gereja hendak menegaskan sikap dasarnya yang harus dipegang teguh oleh para pemeluknya. Gereja tidak mau jatuh dalam relativisme terhadap kebenaran agamanya sendiri. Dalam hubungannya dengan umat beragama lain, Gereja Katolik menunjukkan adanya empat macam sikap yang mungkin terjadi.[1] Pertama, sikap eksklusif yang memandang bahwa keselamatan hanya ada dalam Gereja, sedangkan di luar Gereja tidak ada keselamatan. Kedua, sikap inklusif yang mengakui pewahyuan dalam agama lain dan meyakini bahwa orang beragama lain juga akan diselamtakan melalui Yesus Kristus, juga jika mereka tidak meyadari atau mengakuinya. Ketiga, sikap pluralis yang menganggap “semua agama sama saja” yang bisa membuat orang kurang menyadari makna mendalam dari agama yang dipilih dan dipeluknya sendiri. Keempat, sikap pluralis berintegritas terbuka yang mengakui dan menerima kekhasan agama masing-masing sekaligus saling belajar dari yang lain. Seorang yang pluralis berintegrasi terbuka akan berkata: “saya meyakini bahwa agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling benar bagi saya karena itu saya anut dengan sepenuh hati. Namun, kekhasan masing-masing agama dan kebebasan beriman dan beragama orang lain saya akui dan terima. Dengan dialog saya dapat menyumbangkan kekayaan iman saya dan saya juga dapat menerima kekayaan dari agama dan penghayatan iman orang lain.” Sikap terakhir inilah yang diakui oleh Gereja Katolik sebagai sikap yang terbaik untuk berhadapan dengan umat yang berlainan agama atau kepercayaan. Dengan demikian, pernyataan Gereja di atas harus dibaca dalam terang sikap yang dimaksudkan pluralis berintegirtas terbuka. Gereja Katolik tidak mau jatuh dalam sikap pluralisme yang menganggap semua agama sama saja. Oleh karena itu, Konsili menegaskan bahwa “semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebanaran tersebut, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya” ( DH 1. par. 3). Selain itu, Konsili mau menegaskan bahwa kebebasan beragama yang termasuk dalam salah satu pokok Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menunaikan tugas berbakti kepada Allah yang dimaksudkan lebih terkait dengan “kekebalan terhadap paksaan dalam masyarakat” dan Konsili bermaksud mengembangkan ajaran para Paus akhir-akhir ini tentang hak-hak pribadi manusia yang tidak dapat diganggu-gugat serta tentang penataan yuridis masyarakat.[2] Konsili tidak bermaksud merelatifisir keyakinan asali Gereja dengan menegaskan sekali lagi bahwa “kebebasan itu tidak mengurangi ajaran Katolik tradisional tentang kewajiban moral manusia dan masyarakat terhadap Agama yang benar dan satu-satunya Gereja Kristus.” Dengan demikian, dari artikel ini nyata bahwa Gereja Katolik mengakui pluralisme agama dan mengakui bahwa dalam agama-agama lain pun ada kebenaran. Selain itu, Gereja Katolik juga memberi penghargaan tinggi kepada kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama dan keyakinannya. Lalu bagaimana dengan Gereja Katolik Indonesia sendiri? Sebagai bagian dari Gereja universal, Gereja Katolik Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dan kepercayaan di Indonesia dan mengakui adanya kebenaran dalam agama dan kepercayaan lain. Lalu, bagaimana relevansinya bagi kehidupan beragama di Indonesia? III Kebebasan Beragama di Indonesia Negara Indonesia juga mengakui fakta pluralisme agama dalam masyarakat Indonesia. Dan negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama dan kepercayaannya. Pengakuan ini dieksplisitkan dalam sila pertama Pancasila dan dalam Pembukaan UUD 1945. Pengakuan resmi ini merupakan usaha kompromi antara kelompok nasionalis dan kelompok Islam pada awal terbentuknya negara Indonesia. Pada mulanya, kelompok Islam menuntut dimasukkan tujuh kata yang terkandung dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, ke dalam sila I Pancasila yaitu: “serta kewajiban menjalankan syariat Islam bagi penganutnya.” Tujuannya, untuk memberlakukan hukum syariat dalam segala aspek kehidupan umat Islam. Namun usaha ini gagal dan akhirnya disepakati hanya Ketuhanan Yang Mahaesa. Pengakuan akan adanya Tuhan ini memberi landasan bagi pengakuan akan pluralisme agama dan kepercayaan, dan pengakuan akan kebebasan dalam menganut agama dan menjalankan ibadah bagi setiap warga negara. Dengan demikian, para pendiri bangsa telah mengantar kita kepada pemahaman akan kerukunan antara umat beragama dan penghargaan akan perbedaan sebagai kekayaan. Dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2 dikatakan: “Negara berdasarkan atas ketuhanan yang Maha Esa (ayat 1) dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (ayat 2). Rumusan-rumusan di atas menunjukkan bahwa di negri ini semua agama berkedudukan sama di mata hukum. Maka, pemerintah dan negara berperan penting untuk menjamin agar hak warga negara berkaitan dengan kebebasan beragama dan kebebasan menjalankan ibadat tidak ditindas dan dihalangi oleh kelompok lain termasuk oleh golongan mayoritas. Namun, idealisme terkadang tidak sejalan dengan praksis hidup. Demikianpun idealisme yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak selalu sejalan dengan realitas yang berkembang. Sejak bangsa ini merdeka hingga sekarang ini idealisme ini justru mendapatkan tantangan dari warga negaranya sendiri. Pada era Orde Baru, Pancasila bukan lagi menjadi tata nilai yang senantiasa digeluti dan didalami, melainkan dipaksakan untuk menjadi ideologi bagi semua partai politik dan organisasi masa. Kebebasan beragama dipersempit menjadi agama yang resmi diakui oleh negara yakni: Islam, Katolik, Kristen, Budha, dan Hindu. Pada masa itu, orang dipaksa untuk memimilih salah satu dari kelima agama yang diakui. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip kebebasan beragama, karena negara tidak berhak memaksakan warganya masuk ke dalam salah satu dari kelima agama tersebut. Pembatasan hanya dalam lima agama yang diakui juga menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah berlaku tidak adil terhadap agama-gama di luar itu yang lazim disebut sebagai aliran kepercayaan (Kebatinan, Agama Jawa-Sunda, Konghucu, Zen, dll). Orang yang tidak menganut salah satu dari kelima agama tersebut bisanya diperlakukan tidak adil di depan hukum. Selain itu, wacana mengenai pemberlakuan syariat Islam yang dibungkam pada masa orde baru mencuat kembali dalam tahun-tahun belakangan ini. Peluang berlakunya syariat Islam di Indonesia semakin terbuka lebar setelah berlakunya Undang-Undang Otonomi Daerah tahun 2001. Walaupun dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa urusan politik dan agama berada dalam wewenang pusat, namun beberapa daerah mengartikan otonomi sebagai kebebasan membuat aturan sendiri juga mengenai syariat Islam. Terkabulnya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Aceh mendorong daerah-daerah lain, seperti Sulawesi Selatan dan Jawa Barat menuntut hal yang sama. Tampilanya kelompok Front Pembela Islam (FPI) yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam menegakkan ajaran-ajaran Islam merupakan bagian dari upaya-upaya untuk menegakan hukum Islam. Akan tetapi, survei terbaru Lembaga Survei Indonesia (SLI) Oktober 2006[3] menyebutkan bahwa dari 1.092 informan yang diwawancarai mengatakan, 80 persen umat Islam Indonesia menganggap bahwa Pancasila dan UUD 1945 sejalan dengan Islam. Demokrasi sudah searah dengan Islam, dan demokrasi senapas dengan Pancasila. Hanya 5 persen yang mempertentangkan Pancasila dengan Islam. Sementara itu, dukungan terhadap organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti terhadap Majelis Mujahidin Indonesia yang pro syariat Islam hanya 16,1 persen, dan 17,4 persen mendukung jemaah Islamiah. Data survei SLI di atas dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengukur bagaimana sebenarnya respons umat Islam atas maraknya tuntutan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia yang diawali dengan bermunculannya perda-perda bernuansa syariat Islam, seperti Peraturan Daerah (Perda) Minuman Keras, Perda Pelacuran, Perda Jilbab, dll. Di DIY ada usulan perlunya sebuah Perda bagi wanita pegawai pemerintahan dan pelajar-mahasiswa DIY yang diusulkan oleh Forum Umat Islam Yogyakarta. Walaupun demikian, jelas bahwa sebagian besar umat Islam tidak menyetujui pelaksanaan hukum syariat Islam yang dikontrol oleh negara, sebab dikhawatirkan akan melahirkan pemaksaan dan hilangnya kebebesan dalam beragama baik bagi umat Islam sendiri maupun umat non-Islam. Kelompok minoritas juga tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam, karena jika syariat Islam diberlakukan, maka mereka akan menjadi warga negara nomor dua dan tidak memiliki hak yang sama dengan kaum muslim yang mayoritas di depan hukum. Carut-marut kehidupan beragama di Indonesia yang bertendensi tirani mayoritas juga dipengaruhi oleh kebijakan publik yang tidak pluralis, yang menciptkan persoalan antar umat beragama. Misalnya, terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) no. 10/BER/MDN-MAG/1969 tentang pendirian rumah ibadat. Surat keputusan ini tidak sejalan dengan semangat pluralis Pancasila dan UUD 1945 karena tidak menguntungkan bagi kelompok agama minoritas. Kalangan minoritas menjadi kesulitan dan dipersulit dalam membangun rumah ibadat karena tidak mendapat izin dari otoritas lokal. Dan bahkan tempat-tempat ibadat yang sudah dibangun banyak yang ditutup secara paksa oleh umat beragama tertentu dengan alasan tidak mendapat izin dan menimbulkan keresahan di kalangan warga setempat, padahal orang sangat memerlukan tempat ibadat. Pemerintah sendiri yang seharusnya bertugas mengusahakan kesejahteraan umum sepertinya tidak menunjukkan upaya yang serius untuk menyelesaikan masalah ini. Semua situasi yang berkembang di Indonesia sepertinya mau menunjukkan bahwa pengakuan akan fakta pluralisme agama masih jauh dari harapan, bahkan justru kebencian terhadap agama tertentu yang berbuntut pada tindakan anarkisme menjadi pemandangan yang lazim di tengah masyarakat.[4] IV Relevansi Dignitates Humanae (Artikel 1) Tehadap Perjuangan Menegakan Kebebasan Beragama di Indonesia. Agama merupakan sosialisasi pengalaman iman, pengalaman disentuh oleh Yang Ilahi. Pengalaman ini memberikan makna kehidupan dan membuat manusia menyerahkan diri kepada-Nya. Sosialisasi pengalaman iman itu terwujud dalam persekutuan, ajaran, dan ibadat yang mendorong orang secara individual atau komunal untuk melaksanakannya dalam hidup dan keterlibatan sehari-hari. Akan tetapi, perlu disadari bahwa yang diimani oleh manusia mengatasi segalanya. Allah tidak mungkin ditangkap sepenuhnya oleh kenyataan dunia ini, juga tidak oleh agama manapun. Seandainya tidak demikian, berarti bahwa Allah dapat dibatasi dan dikuasai oleh kenyataan dunia. Setiap agama mengkomunikasikan pengalaman itu melalui simbol-simbol verbal dan non-verbal. Melalui simbol-simbol tersebut manusia secara terbatas menghayati relasinya dengan Allah. Semua agama mempunyai keunikan masing-masing sesuai dengan sejarah pengalaman iman masing-masing. Keunikan itu tampak dalam simbol-simbol yang ada dalam agama masing-masing yang merupakan sarana berhubungan dengan Allah. Mengakui dan menerima pluralisme agama seperti yang menjadi salah satu sasaran Dignitatis Humanae art. 1, tidak hanya berarti mengakui adanya fakta kemajemukan agama, tetapi sekaligus mengakui kenyataan bahwa simbol-simbol agama manapun mengungkapkan hubungan dengan Allah yang juga terbatas sifatnya. Menerima realitas pluralisme agama seperti yang ada di Indonesia berarti menerima keterbatasan simbol-simbol tersebut dan oleh karena itu diperkaya oleh dan dan memperkaya simbol-simbol agama lain. Inilah sikap pluralis yang berintegritas terbuka seperti yang diharapakan oleh Gereja Katolik. Oleh karena itu, Dignitatis Humanae art. 1 mengajak semua insan Indonesia agar mempunyai tangung jawab bersama untuk membuka diri, diperkaya, dan memperkaya yang lain. Untuk dapat mejalankan tanggung jawab itu, manusia memerlukan kebebasan dalam menggunakan dan memperkembangkan simbol-simbol yang ada dalam agamanya masing-masing. Keyakinan mengenai agama pilihan saya yang paling dapat dipertanggungjawabkan, tidak dapat menjadi alasan untuk memaksakan agama saya kepada orang lain. Di sini harus dibedakan antara kebenaran dan kebebasan. Menjunjung tinggi kebebasan berarti memberi ruang kepada orang lain untuk memilih kebenaran yang menurut suara hatinya paling dapat dipertanggungjawabkan, juga apabila hal itu saya anggap kurang atau tidak tepat. Kenyataan bahwa saya memilih agama ini dan bukan agama itu tidak berarti bahwa saya berada dalam keadaan sempurna dalam memahami dan menempatkan Yang Ilahi beserta seluruh kenyataan hidup. Dalam paradigma holistik, setiap orang dalam setiap kelompok mempunyai sumbangan dalam keseluruhan dan keseluruhan lebih besar daripada jumlah bagian-bagian. Penghargaan tulus kepada umat beragama lain dan kesediaan belajar dari mereka tidak mengambil sikap “semua agama sama saja”. Inilah yang mau dihindari oleh Gereja katolik. Karena seandainya semua agama sama saja maka satu sama lain tidak akan dapat saling memperkaya. Semua mempunyai sumbangan satu terhadap yang lain justru karena semua agama tidak sama. Tanpa kemampuan untuk menerima sumbangan dari agama lain, orang atau kelompok akan dirugikan dan begitupun secara keseluruhan. Kebebasan beragama merupakan hak asasi manusia. Dialog dan kerja sama antar umat beragama merupakan kewajiban dan tanggung jawab asasi juga. Kewajiban-kewajiban tersebut mengajak umat beragama menolak kerukunan atau harmoni palsu, yang menutupi perbedaan-perbedaan, untuk mengakui dan menerima perbedaan-perbedaan, untuk mengakui dan menerima pluralisme dengan senang hati, sebab dengan demikian hidup beragama akan saling memperkaya. Harmoni palsu seolah-olah menampilkan sikap terbuka, namun tidak cukup serius menghargai kekhasan agama masing-masing sebagai tradisi yang hidup. Sikap yang tepat adalah “mengakui dan menerima kehasan agama masing-masing sekaligus terbuka untuk saling belajar dari yang lain.” Sikap ini berarti memasuki dialog dengan integritas jelas dan keterbukaan yang tulus. Seorang dengan sikap tersebut dapat berkata “saya meyakini agama dan iman saya sekarang ini adalah yang paling benar bagi saya dan karena itu saya anut dengan senang hati. Namun, kekhasan masing-masing agama dan kebebasan beriman dan beragama orang lain saya terima dan akui.” Melalui dialog saya bisa menerima kekayaan dari agama dan keyakinan orang lain. V Kesimpulan Pengakuan akan kebenaran-kebenaran yang terdapat dalam agama-agama dan kepercayaan lain seperti yang tertuang dalam Deklarasi Dignitatis Humanae (art. 1) mau menunjukkan penghargaan Gereja terhadap kebebasan manusia. Gereja beranggapan bahwa kebebasan sebagai hak asasi yang dianugerahkan Allah kepada setiap orang sesuai dengan kodratnya sebagai ciptaan dan citra-Nya. Setiap orang berhak, tanpa paksaan dari pihak manapun baik negara maupun masyarakat dan umat beragama tertentu, mempergunakan kebebasannya untuk memilih dan menentukan apa yang paling baik dan benar menurut tuntunan hati nuraninya sendiri, termasuk untuk memilih dan menentukan agama dan kepercayaan yang mau dianutnya. Maka, penghargaan terhadap kebebasan untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat adalah perwujudan dari penghargaan terhadap martabat pribadi manusia. Dengan memberi pengakuan akan kebebasan beragama, Gereja Katolik meninggalkan pola pikir lama bahwa yang salah tidak memiliki kebenaran. Di Indonesia sendiri, hak setiap warga untuk memeluk agama dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya diakui. Pengakuan ini secara eksplisit tercantum dalam sila pertama Pancasila dan pembukaan UUD 1945, aliena ketiga dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal ke-29. Dengan demikian, sesungguhnya bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya telah mengakui fakta pluralisme agama dan kepercayaan di kalangan rakyatnya dan memberi perlindungan hukum yang sama kepada setiap agama dan warga negara. Namun cita-cita luhur yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 tidak sepenuhnya terealisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehari-hari. Kekerasan yang dilakukan terhadap kelompok minoritas atas nama agama mayoritas sering terjadi. Pandangan mayoritas dan minoritas turut menghambat terciptanya kerukunan. Agama seringkali tidak dipandang sebagai institusi moral yang mengajarkan nilai-nilai yang harus dihidupi untuk menciptakan kesejahteraan bersama, melainkan sebagai ideologi yang sempurna. Akibatnya, agama lain tidak lagi dilihat sebagai partner untuk menciptakan kesejahteraan bersama melainkan sebagai saingan yang harus dienyahkan. Untuk dapat mengatasi situasi ini perlu adanya dialog yang terbuka dan tulus antar umat beragama dan kepercayaan. Tujuannya, untuk saling memperkaya bukan untuk menyamakan agama atau untuk saling menguasai. Dasar dari dialog adalah kesadaran bahwa tidak ada agama yang secara penuh dan sempurna dapat mewadahi Allah. Dialog yang benar dan sehat akan semakin membentuk kesadaran akan keberagaman dan penghargaan akan perbedaan serta dapat memperkaya penghayatan iman dalam masing-masing agama. End Note: [1] Disarikan dari dokumen berjudul “Integritas yang Terbuka: Landasan Teologis Gereja Katolik untuk Hubungan Antar Umat Beriman”, dipetik dari buletin Hak Kerukunan no. 103, tahun ke-17, Juli-September 1997. [2] Ajaran-ajaran para Paus tentang hal ini mencakup: Yohanes XXIII, Ensiklik Pacem in Terris, 11 April 1963, Pius XII, Amanat Radio, 24 Desember 1944, Pius XI, Ensiklik mit Brenneder Sorge, 14 Maret 1937, Leo XIII, Ensiklik Libertas Praestatissimum, 20 Juni 1888. [3] Zuly Qodir, “Stabilitas Politik dan Syariat Islam”, dalam Kompas , 29 November 2006. [4] Bandingkan dengan kasus pembakaran Gereja pada penghujung 1996 di Situbondo dan Tasikmalaya. Persoalan yang semulanya spele bisa berubah menjadi tindakan anarkisme yang terorganisir yang menunjukkan arogansi mayoritas terhadap kaum minoritas. Rupanya, kecemburuan sosial dan ekonomis juga menjadi salah satu faktor penyulut kebencian, Refleksi Peristiwa Kerusuhan Tasikmalaya 26-27 Desember 1996, Keuskupan Bandung, 1997.
Daftar Pustaka Dokumen Konsili Vatikan II, ter. R. Hardawiryana, SJ, DOKPEN KWI, Jakarta: Obor, 1993. Kampschulle, Theoore, Situasi HAM di Indonesi: Kebebasan Beragama dan Aksi Kekerasan, Mission, (tanpa tahun). Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, Terbuka terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang Inklusif, Komisi Kerawam KWI, Jakarta: Kanisius, 2004. Sumartana, Th., dkk, Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Intefidei, 2001 Zuly Qodir, “Stabilitas Politik dan Syariat Islam”, dalam Kompas , 29 November 2006

Senin, November 26, 2007

Montfort dan Salib

S A L I B MENURUT SANTO MONTFORT
Pengantar Secara hurufiah kata “salib” merujuk pada alat siksaan kuno yang digunakan untuk menyalibkan mereka yang dihukum mati, sebuah siksaan yang di dalamnya Yesus menyerahkan diri-Nya, atau untuk merepresentasikan Salib seperti: penyaliban, kalvari, lambang-lambang, dekorasi-dekorasi, dll. Secara konotatif, kata Salib menunjuk pada segala yang diminta oleh karena pilihan akan Kristus untuk kepentingan Injil atau dalam pewartaan Injil (Mat, 5:11, Flp, 1:29, 2 Tes, 1:5, 2 Tim 1:87;2:8). Kemudian maknanya diperluas sehingga mencakup pencobaan-pencobaan, rintangan-rintangan-rintangan, dan kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam hidup yang dipikul dan diterima oleh orang kristiani dalam kesatuan dengan penderitaan Kristus untuk melanjutkan misi Yesus Sang Penyelamat dalam Gereja. Sudah sejak awal, Salib Kristus dilihat sebagai manifestasi kasih Allah yang terbesar (bdk, Roma, 5:6; 8:32) dan sarana yang efektif bagi kebijaksanaan dan kekuasaan Allah untuk mendamaikan kembali manusia dengan Allah (bdk, 1:18; Kol 1:19). Menurut tradisi spiritual yang panjang dari Gereja, salib merupakan wadah dalam mana Tuhan membentuk orang-orang kudus. Di dalamnya ada banyak bentuk salib yang biasanya menyertai keputusan untuk mengikuti Kristus (8:34) dan untuk memberikan hidupnya berdasarkan cinta, sebagaimana Ia telah melakukannya. I. Montfort dan Salib dalam Konteks Spiritualitas Abad 17 Keistimewaan spiritual seorang kudus terutama merupakan hasil dari kesetiaan imannya kepada Injil dan kepada karya Roh Kudus. Akan tetapi, beberapa orang kudus mengenakan beberapa tanda dari tradisi Gereja yang sudah berabad-abad lamanya dan trend jaman dan lingkungan di mana seorang kudus hidup. Sebagai contoh, Montfort gemar membandingkan aspirasi dan pengalaman hidupnya yang terdalam dengan apa yang dilaporkan oleh para penulis rohani yang tidak dapat dipungkiri lagi kebenarannya. Jika memperhatikan ajarannya tentang Salib, tampak bahwa sebagain besar Montfort dipengaruhi oleh Les saintes voies de la croix­-nya, Henry Boudon, lettres spirituelles-nya Joseph Surin, karya-katrya Olier, dan lingkungan Sulpisian, tempat dimana ia telah menerima latihan-latihannya selama delapan tahun. Tanpa meragukan pengaruhnya Boudon, yang terkenal dengan sebutan diakon agung dari Evreux, dirinya berhutang budi pada La Croix de Jesus dari Louis Chardon yang memiliki pengaruh lebih langsung pada jalan Montfort menuju salib. Menurut Blain teman kuliahnya, buku favorit hari-harinya di Seminari adalah Les saints voies la Croix. Buku ini “menginspirasikannya dengan semacam suatu penghargaan dan apresiasi yang yang tinggi terhadap penderitaan dan kehinaan yang menghasilkan kebahagiaan yang dia dapat dari salib-salib dan jasa penderitaannya.”[1] Menurut Boudon, salib merupakan sebuah rahmat yang paling berharga bagi Kristus dan bagi orang-orang Kristiani, sehingga salib harus diterima dengan penuh hormat, cinta dan sukacita. Untuk memperoleh keutuhan hidup rohani, Surin menekankan penyerahan jiwa yang total terhadap Allah dan sikap lepas bebas sepenuhnya terhadap ciptaan, yang meliputi matiraga secara sukarela, disamping salib-salib yang biasa dijumpai dalam kehidupan kristiani. “berkenaan dengan hal ini, Montfort pindah dari Boudon untuk mengikuti Surin.”[2] Monfort dipengaruhi oleh gagasan Olier tentang misi keliling, yang mengharuskannya hidup miskin secara radikal dan ditandai oleh hambatan-hambatan sejak awalnya. Dalam formasi yang diberikan di seminari St. Sulpice, trend psikologis diperkenalkan oleh Tronson untuk memperoleh dasar bagi hidup mistik dan misi apostoliknya. Formasi itu bertujuan untuk sungguh-sungguh membawa kepada kehidupan spiritual yang otentik, walaupun diliputi dengan cita-cita yang tak berlebihan, kebijaksanaan, kecocokan dalam hidup komunitas, dan ketaatan yang tepat terhadap semua aturan. Montfort tak pernah merasa nyaman dalam kerangka kerja yang kaku ini, yang menyerupai sebuah cetakan dalam mana dia memberikan dirinya hanya dalam ketaatan tanpa melekat dalam hatinya secara penuh. Seminari untuknya merupakan sebuah tempat di mana dia menderita, berupa adanya celaan-celaan, ejekan, hinaan,[3] yang sebagian besar disebabkan oleh kurangnya penyesuaian dirinya dengan masyarakat lantaran kepribadiannya yang tempramental. Perjalanan misinya diadakan selama beberapa waktu, tetapi ini hanya memimpinnya untuk masuk ke kedalaman dirinya misteri Yesus yang disalibkan. Montfort sedikit demi sedikit menjadi dirinya sendiri hanya setelah dia meninggalkan Seminari St. Sulpice. Dia akan meneruskan perjalanan spiritual dan apostoliknya, yang selalu ditandai dengan salib, sebagai konsekuensi logis dari keputusannya untuk hidup seturut tuntutan Injil. II. Salib dalam Hidup Montfort 2. 1. Pengalaman Pencobaannya Sebagai seorang imam muda, Montfort merasa menderita karena tidak adanya kegiatan yang aktif selama enam bulan tinggal di komunitas St. Clement di Nantes. Kemudian ia harus merasakan jalan yang ada disekitarnya kira-kira selama lima tahun sebelum menemukan jalannya yang tepat: dia ditolak oleh rumah sakit Poitiers, kemudian oleh rumah sakit Salpetriere di Paris; dia tidak diakui oleh pembimbing rohaninya dan ditinggalkan oleh teman-teman lamanya (S 15). Pada 1703 dia tinggal sendirian di sebuah gubuk kotor di bawah sebuah tangga di jalan Rue du Pot-de-Fer di Paris dan merasa “sangat miskin, menderita dan hina dari segalanya” (S 16). Secara manusiawi, itu adalah suatu pengalaman penolakan dan hinaan yang mengerikan selama 30 tahun, tetapi itu juga merupakan sebuah pengalaman rohani yang luar biasa, yang terus menjaga kerinduan doanya bagi harta yang tak ada batasnya dari Kebijaksanaan ( S 15). Montfort mendapat pengakuan dalam karya pelayanannya dari Paus Clement XI pada Juni 1706 dengan gelar “misionaris apostolik,” dan sisa hidupnya disertai oleh Salib-salib. Kotbahnya mengganggu banyak orang dan menciptakan pula banyak musuh dari antara mereka. Para pemfitnahnya memperoloknya di depan mata rakyat jelata (yang melihat dia sebagai “bapa yang baik dari Montfort”), dengan menjulukinya sebagai “seorang pengembara”, “seorang petualang”, “seorang munafik”, “seorang yang kerasukan setan” dan “anti Kristus.”[4] Beberapa pencobaan telah dialami selama hidupnya. Meskipun dia selalu berjuang untuk mematuhi perintah dari uskup, tetapi beberapa orang dari mereka melarang atau menolak dia masuk daerah mereka sebagai sebuah akibat dari laporan yang memfitnahnya atau karena semangatnya yang berlebihan. Pada saat itu penderitaannya lebih hebat karena kepercayaan orang terhadap misinya tidak ada. Dan itulah salib yang selalu menemani hidupnya. Pada 1713 kepada saudarinya Guyonne Jeanne, “ Andaikata engkau mengetahui salib-salibku dan segala penghinaanku sampai mendetail, saya sangsi apakah engkau masih begitu sangat rindu melihat saya; sebab setiap kali bila saya mengunjungi setiap daerah, saya memberikan sebagian salibku kepada sahabat-sahabat terbaiku untuk dipikul mereka walaupun itu sering bertentangan dengan kehendakku atau kehendak mereka. Tak seorangpun dapat mendukung saya dan berani membela saya tanpa sendiri menderita karenanya dan kadang-kadang jatuh di bawah tekanan yang saya perangi, tekanan dunia yang saya protes, dan tekanan daging yang saya aniaya. Suatu sarang semut penuh dosa dan pendosa yang saya serangi, tidak membiarkan saya maupun orang-orangku tenang. Selalu siap siaga, selalu kena duri dan kerikil-kerikil tajam, saya bagaikan bola dalam permainan: baru saja dilempar ke sebelah satu dibanting ke sebelah lain dengan pukulan keras. Itulah nasib seorang pendosa yang malang. Begitulah saya tanpa rileks dan tanpa istirahat sejak tiga belas tahun yang lalu saya meninggalkan Saint Sulpice”(S 26). Surat ini, sama dengan surat berikutnya yang diawali dengan, ”Semoga Yesus dan Salibnya berkuasa untuk selama-lamanya”. Sampai kemudian dia menulis dalam suratnya, “Semoga cinta yang sempurna dari Allah berkuasa dalam hati kita!” Sasaran kotbahnya adalah untuk membaharui hidup baptistual di kalangan umat beriman. Dia tidak menghitung upah dari “perjuangan melawan setan-setan dari neraka ataupun memerangi dunia dan orang-orang duniawi musuh kebenaran” ( S 24), dan dia mengundang saudarinya yang suster dan komunitasnya untuk berdoa agar dia dapat “memperoleh dari Yesus rahmat bagiku untuk memikul salib-salib yang paling kasar dan dan paling berat seakan-akan jerami dan untuk bertahan terhadap kekuasaan iblis dengan wajah yang tak tergoyamgkan” ( S 24). Dia meninggal terlalu dini, sebelum menyelesaikan pekerjaannya sebagai seorang pendiri, yang merupakan pengorbanan terbesar bagi seorang pria yang selama 16 tahun tidak pernah berhenti berdoa dengan penuh keyakinan untuk memohon sekumpulan imam-imam misionaris. 2. 2. Salib Kalvari Sebagai seorang siswa, Montfort “selalu memakai sebuah salib dan sebuah gambar yang bersulam timbul (medali) dari Perawan Maria.”[5] “Salib dan gambar Perawan Maria yang terberkati itu selalu berada bersamanya selama seluruh hidupnya… sebagai satu-satunya sumber segala perjuangannya.”[6] Paus Klemens XI memberikan kepada Montfort salib idulgensi yang sempurna, agar diperoleh bagi mereka semua yang menciumnya sebelum mereka meninggal. Selama jam-jam terakhir, ia menggenggam salib itu pada tangannya dan kemudian memberkati mereka yang mengunjunginya.[7] Pada 1707 di Montfort-la-Cane, sebagai pengganti kotbahnya ia mengeluarkan salib yang dia bawa dari Roma, semua memandang salib itu untuk waktu yang lama, dan mencucurkan air mata; kemudian ia meninggalkan mimbar tanpa kata dan memberikan salib itu untuk semua menciumnya. Seluruh yang hadir tergerak hatinya dan menyesal. Pada titik ini, dia telah mencapai maksudnya.[8] Pada waktu tertentu ia mengacungkan salibnya sebagai sebuah senjata damai bagi orang muda yang sedang berkelahi, atau sebagai sebuah simbol yang mempersatukan dalam melawan yang tidak bermoral atau segala kekacauan. “Biarkan mereka yang mencintai Yesus mengikuti saya dalam cinta kasihNya.”[9] Pada Agustus 1713, ketika Superior komunitas Roh Kudus meminta kepadanya beberapa tanda persahabatan, dia memberinya “sebuah salib kecil hanya beberapa inci panjangnya, sambil berkata, ‘dari semua milikku ini adalah yang paling berharga, dan saya memberinya untuk kalian’;…salib kecil itu dipakai secara sopan dengan banyak ciumannya.”[10] Selama misinya, dia memberikan kepada mereka yang hadir salib-salib yang berukuran kecil yang terbuat dari kain.[11] Bagaimanapun juga, puncak dari misinya adalah pemberkatan kalvari. Biasanya dibangun pada sebuah bukit sebuah salib besar untuk mengingatkan setiap orang akan janji Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia, dan bagi umat beriman kewajiban mereka untuk memikul Salib mereka sejalan dengan Guru mereka. Hal itu juga merupakan caranya untuk menggoreskan juga di dalam hati orang lain seperti yang tergores di dalam hatinya sendiri, devosi dan cinta kasih kepada Yesus yang tersalib,[12] walaupun sedang merayakan dan menghidupkan secara terus-menerus suatu jalan kemenangan kalvari yang efektif. Pada 1707, walaupun di paroki asalnya, dia menggerakkan penduduk setempat untuk membangun bukan hanya sebuah salib, tetapi juga mimbar kecil untuk digunakan sebagai tempat berkotbah. Proyek itu gagal.[13] Ia membuat lagi pada 1708-1710 di Pontchateau. Itu adalah usaha yang sangat besar karena beberapa ratus pekerja sukarela mengambil bagian, bekerja setiap hari selama 16 bulan. Sebuah salib besar melebihi 15 meter, diapiti oleh kedua penjahat, dan patung-patung dari Maria, Yohanes, dan Maria Magdalena, dibangun pada sebuah bukit yang berketinggian 30 meter dan tampak dari jarak 30 km. Tiga kapel ditambah,dan pohon tusam dan cemara yang mewakili misteri-misteri Rosario juga ditanam di sana. Kalvari itu dilengkapi dengan jadwal harian, tetapi dihancurkan segera setelah itu atas perintah uskup setempat yang mendapat informasi yang salah.[14] Di Sallertaine pada tahun 1712, ia memulai sebuah proyek dengan kurang ambisius, yakni ruang kapel berkubah yang dibaktikan kepada St. Mikael, sebuah ruang bundar yang disebut “makam,” dan patung Tuhan yang sengsara; juga termasuk tiga salib, sebuah dinding batas, sebuah tangga masuk, sebuah rosario besar mengelilingi patung Yesus, dan lain-lain. Upacara pemberkatan berlangsung: “Hati berubah, Yesus dimuliakan, dan Salibnya diagungkan.”[15] Tetapi atas dorongan dari lawan-lawannya, gubernur memutuskan beberapa minggu kemudian bahwa kalvari itu dibongkar. Dalam tiga kejadian ini, alasan yang sama dekemukakan: kalvari dengan gua-guanya, parit dan dinding batas bisa digunakan sebagai benteng atau tempat perlindungan pasukan Inggris dalam sebuah peristiwa invasi. Pada setiap kesempatan, salib yang mulia itu dirampas dari kejayaan dan penghormatan populer dan beruabah menjadi sebuah salib yang menyakitkan yang harus ditanam di dalam hati semua orang untuk menghasilkan buah yang terakhir. Kalvari dari misinya yang terakhir diberikan di Saint Laurent sur Sevre, yang dibangun sehari setelah kematiannya, beberapa jam sebelum penguburannya. 2. 3. Bagaimana Montfort memikul Salibnya Reaksi-reaksinya yang segera muncul selama tragedi minggu berikutnya di Pontchateau memberikan suatu gambaran kepada kita bagaimana ia menghadapi salib. Dia awalnya mendapat ijinan dari uskup dan semua persiapan sudah dibuat untuk upacara pemberkatan yang seyogyanya berlangsung pada 13 September 1710. Tetapi pada jam empat sore dia diberitahu mengenai pengumuman raja kepada uskup Nantes bahwa upacara itu dibatalkan. Dia kemudian berjalan ke Nantes selama semalam untuk lebih tahu tentang itu dari uskup. Pembatalan itu memang benar. Seperti yang telah dijadwalkan, ia memulai sebuah misi di Saint Molf, dalam dioses yang sama pada hari minggu berikutnya. Pada minggu yang pertama uskup melarangnya untuk memberikan kotbah atau mendengar pengakuan di seluruh keuskupan. Dia menitikkan air mata ketika membaca surat dari uskup. Dan pembawa pesan itu, “melihat bahwa dia tidak terganggu ataupun merasa pahit: sepertinya dia hanya menderita dalam keheningan yang murni.” Dia memohon sekali lagi kepada uskup “dengan harapan bahwa dia akan berubah hatinya.” Malahan, uskup itu memerintahkan kepadanya agar Kalvari Pontchateau dirobohkan. Kemudian dia mengadakan retret dalam ketenangan yang menakjubkan dan menyebut tanpa kata setiap orang dari kejadian itu. Kepada siapa yang mendukungnya ia berkata, “saya tak pernah menyesal maupun sedih; saya senang.”[16] Senang dalam penderitaan kerasulannya (S 26), Montfort mengundang orang-orang sekitarnya untuk bersyukur kepada Tuhan bersamanya (S 24), dan “mengidungkan madah Te deum.”[17] III. Salib kebijaksanaan Poitiers Beberapa bulan setelah pentahbisannya pada 1700, Pater Louis de Montfort menyetujui untuk menjadi pastor di rumah orang miskin di kota Poitiers, Perancis. Kekacauan yang dihadapinya jauh lebih besar daripada yang dia duga sebelumnya. Salah satu tujuan pembaharuannya yang utama dalah mengorganisir sebuah kelompok doa kira-kira dua puluh wanita saleh dari suatu institusi, dimana semua mereka mengalami cacat fisik. Imam muda itu menamakannya kelompok kebijaksanaan. Para putri sederhana ini bertemu dalam satu pojok kecil dari rumah itu, seorang wanita buta menjadi pemimpin mereka. Dalam ruang pertemuan Kebijaksanaan itu, St. Montfort menempatkan pada tempat yang mencolok sebuah salib besar yang dibuatnya. Pada salib itu ia menuliskan, dengan sederhana dan penuh kekuatan ungkapan-ungkapan evangelis, kemualiaan penderitaan bersama Kristus, kebijaksanaan abadi yang menjelma dan disalibkan. Salib itu menjadi terkenal sebagai Salib Kebijaksanaan, Salib Poitiers. Atas undangan Pater de Montfort, seorang gadis muda dari sebuah keluarga terkenal dari Poitiers bergabung dengan kelompok Kebijaksanaan yang terdiri dari orang miskin yang cacat karena digerakkam oleh keinginan untuk melayani mereka. Anak remaja ini adalah Marie Louise Trichet, yang kemudian menjadi koopendiri Putri-putri Kebijaksanaan dari Montfort. Dia dibeatifikasi pada 16 Mei 1993 oleh Paus Yohanes Paulus II di Roma. Salib Kebijaksanaan yang asli dihormati oleh Marie Louise dan dijadikannya sebuah sumber kekuatan, disimpan di rumah Jenderalat DW di Roma. 3. 1. Makna Salib Kebijaksanaan Misteri salib menjadi penting bagi spiritualitas St Montfort, yang secara tegas diungkapkan melalui Salib Kebijaksanaan. Pater Montfort menggunakan sebuah salib untuk menyimbolkan Kebijaksanaan. Apa itu Kebijaksanaan dalam pikiran orang kudus ini? Ia mengatakannya kepada kita secara jelas dalam CKA: “Kebijaksanaan adikodrati terbagi dalam kebijaksanaan substansial atau tidak diciptakan dan kebijaksanaan aksidental atau diciptakan. Kebijaksanaan aksidental dan yang diciptakan ini adalah kebijaksanaan yang menyampaikan dirinya kepada manusia. Dengan kata lain itulah karunia kebijaksanaan. Kebijaksanaan substansial atau yang tidak diciptakan ialah Putera Allah, pribadi kedua dari Allah Tritunggal Mahakudus. Dengan kata lain Dialah Kebijaksanaan Kekal sepanjang segala jaman atau Yesus Kristus dalam waktu. Mengenai Kebijaksanaan Kekal inilah yang akan kita bicarakan” (CKA 13). Kebijaksanaan, kemudian dalam pengertian yang lebih sempurna ialah Yesus Kristus, Kebijaksanaan Kekal yang menjelma dari Bapa. Montfort masih melukiskan Kebijaksanaan ini, Yesus Tuhan, melalui simbol salib. Ia memberikan kepada kita alasannya: “Yesus menetapkan kediamannya di dalam Salib dengan begitu kuatnya, sehingga anda tidak dapat menemukannya di tempat manapun di dunia ini, kecuali dalam salib. Dia sugguh mendarah daging dan menyatukan diri dengan salib, sehingga dalam segala kebenaran kita dapat berkata:”Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan” (CKA 180). Salib Kebijaksanaan mengingatkan kita, oleh karena bahwa Yesus menebus kita dalam dan melalui Salib yang mulia. Dia dapat saja memilih jalan lain. Kehendah-Nya, sudah jelas: Dia memberi kita hidup yang kekal dengan kematiannya di Salib. Yesus Sang Juru Selamat tak dapat dipisahkan dari Salib. Ada alasan lain mengapa karya Montfort ini disebut Salib Kebijaksanaan. Di mata dunia, salib dan pesan yang melekat padanya merupakan suatu kebodohan. Hanya orang yang mengerti Injil secara benar dan arif dapat memegang kebenaran yang termanifestasi melalui salib Kebijaksanaan. Hal itu mengungkapkan apa yang dinspirasikan oleh ajaran Paulus: “… kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah. Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia”(1 Kor 1:23-25). 3. 2. Simbol yang Tersimpan dalam Salib Kebijaksanaan Pada Salib itu terdapat lima simbol yang mencolok. Yang pertama, bagian paling atas terdapat tulisan IHS dan tepat di atas huruf H terdapat sebuah salib kecil. HIS adalah sebuah singkatan Yunani yang lazim untuk nama kudus Yesus. Yang kedua, tepat pada titik tengah bagian kayu yang saling menyilang terdapat huruf M dan A, sebuah simbol Maria. Yang ketiga, bagian tengah kayu salib ke bawah terdapat ungkapan “Vive Jesus, Vive sa Croix”. Kata- kata ini melingkari sebuah hati Yesus yang sedang menyala. Yang keempat, sebuah mahkota duri yang melingkari tiga paku penyalibannya, dan yang kelima terdapat di bawah mahkota duri sebuah bintang yang menyimbolkan Maria. Semua gambar ini adalah interpretasi esensial dari teks Pater Montfort yang dituliskan pada Salib itu. Simbol utama dan yang sering diucapkan adalah Hati Kudus Yesus, tanda Kasih yang takterbatas yng telah menjelma. Cinta St. Montfort yang intens kepada Hati Kudus Yesus kemungkinana besar tumbuh dari persahabatannya dengan para biarawati Visitasi. Pernah terjadi di biara Paray-le-Monial mereka bahwa Tuhan kita menunjukkan Hati Kudus-Nya kepada Sta. Margaret Maria Alacoque. Koleksi kidung-kidung St. Montfort membuktikan devosinya yang kuat kepada Hati Yesus, simbol cinta Tuhan yang tak terbatas bagi kita: “Hati Kristus mencintai kita / tanpa henti mencintai di setiap waktu / Hati Kristus mencintai kita sebagaimana mencintai dirinya sendiri/ dengan keunggulannya yang tak terbatas”(Kid 40:12; bdk. Kid 40-44). Itu merupakan Hati Kudus yang difsirkan tulisan-tulisan Montfort di dalam misteri salib. Salib merupakan ekspresi yang paling kuat dari Hati Kristus, karena melaluinya di kalvari, kasih Allah kepada kita terwujud. Salib selalu harus dilihat kemudian sebagai cinta Hati Kristus yang jaya kepada umat manusia. Namun ada juga sisi lain dari cinta Montfort terhadap Hati Kudus Yesus. Cinta itu juga adalah sebuah panggilan untuk tobat, untuk pembaharuan diri, untuk menderita bersama Kristus. Kesabaran dalam memikul salib-salib kita merupakan perwujudan cinta kita kepada Tuhan, “sekaligus salib merupakan kesaksian yang diminta Tuhan untuk memperlihatkan kepadaNya bahwa kita mencintai Dia”(CKA 176). Fakta bahwa Hati Suci Yesus merupakan aspek yang paling menonjol dari Salib Kebijaksanaan berarti bahwa bagi Montfort salib merupakan misteri cinta terbesar: cinta Tuhan untuk kita dan cinta kita untuk Tuhan. Simbol Bunda Kita juga penting untuk memahami arti dari Salib Kebijaksanaan. Maria adalah Bunda Penyelamat yang disalibkan. Ia merupakan model penderitaan bersama Putranya. Model itu adalah Maria yang memberikan rahmat kepada kita dengan Salib Yesus, Maria yang membagikan dengan kita keberanian dalam memikul Salib yang jaya, itulah Maria yang melindungi, memimpin kita dengan aman kepada Yesus satu-satunya tujuan kita. 3.3 Tulisan pada Salib Tulisan pada salib semuanya ditulis dalam huruf besar. Beberapa istilah terpaksa dipadatkan atau diringkas sesuai lebar salib dan beberapa huruf dari kata itu ditulis menumpuk di atas kata itu sendiri. Bagian puncak salib dan palang dituliskan dengan sangat jelas kata-kata yang diadaptasi dari Kitab Suci. “Menyangkal dirinya, memikul salib, mengikuti Kristus “ ditemukan di atas kepala dibagain vertikala dari salib. Di bagian balok yang melinatang terkandung tulisan-tulisan “ jika engkau menyangkal salib Kristus, Ia akan menyangkal Engkau di hadapan BapaNya.“ Kata-kata dari Roh Kudus menjadi dasar bagi Montfort yang dituliskan pada Salib Kebijaksanaan. Sesudah itu, di bawah balok yang horizontal, St Montfort memulai komentar singkatnya atas kata-kata kitab suci yang dituliskankannya pada puncak salib. Kotabahnya tentang Salib Kebijaksaan dibagi ke dalam dua bagian. Pertama, sebuah daftar yang berisikan beberapa pengalaman salib yang dialami oleh para pengikut Kristus, dan secara khusus pengalaman kelompok doa Kebijaksanaan yang pertama sekali . kedua, bagaimana salib itu dapat dipikul. Kotbah tersebut didahului oleh dua frase: “ Cinta pada Salib, keinginan akan salib “. a. Cinta pada Salib Dunia akan menafsirkan ungkapan ini sebagai sesuatu yang masokistis; bukan sebagai seorang Kristiani. Yesus Kristus kepala kita, mati untuk kita di dalam kemenangan salib; dengan dibaptis dalam Kristus, kita ditenggelamkan di dalam Salib yang mulia. Melalui salib Kristus, kita masuk dalam kemuliaanNya, dan hanya melalui salib, kita dapat mengalami kemuliaanNya. Memikul Salib adalah bagian yang takterpisahkan dari kehidupan orang kristiani. Setiap orang kristen harus menjadi, di dalam penderitaan, sebuah sakramen dari Yesus yang disalibkan. Cinta pada salib, kemudian menjadi kekhaasan dari para pengikut Kristus. Cinta yang dimaksudkan di sini, bukan sebuah cinta yang bersifat sensual, tetapi sebuah cinta yang lahir dari kedalaman jiwanya, muncul hasrat yang kuat menyesuaikan diri secara total dengan Sang Kepala kita. b. Keinginan untuk disalibkan Ekspresi hasrat yang kuat akan salib-salib mengulangi pemikiran Paulus ; tetapi aku sekali-kali tidak mau bermegah, selain dalam salib Tuhan Kita Yesus Kristus, sebab olehnya dunia telah disalibkan dan aku bagi dunia. ( Gal 6: 14 ); yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitanNya dan persekutuan dalam PenderitaanNya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematianNya, supaya aku akhirnya beroleh kebangkitan dari antara orang mati ( Fil 3:10-11 ). Montfort, manusia yang tegas tidak memperlunak perintah Injil yang radikal. Hasratnya yang kuat akan salib-salib merupakan suatu jalan yang kuat untuk mewujudkan kerinduan untuk menjadi sama dengan Yesus Kristus, dalam kematianNya sehingga itu dunia boleh mendapat bagian dalam kebangkitanNya. C. Daftar Salib-salib
Daftar dari salib-salib yang diikuti itu dapat dengan sangat mudah dikenal oleh, perempuan yang sakit, yang miskin yang terbentuk dalam komunitas kebijaksaanaan pertama: hina, sakit, siksaan, penghinaan, malu, penganiayaan, penghinaan, fitnah, penyakit , luka-luka.“ Salib-Salib itu juga adalah bagian dari riwayat kehidupannya. Di tahun-tahun pertamanya sebagai imam, St. Louis de Montfort mengalami rangkaian kesulitan dan itu membuatnya lebih baik dan itu sesuai dengan daftar salib pada Salib Kebijaksanaan. Beberapa dari daftar itu sangat khas dari Montfort. Tentu saja, ia tidak pernah bermaksud agar penamaannya atas berbagai jenis salib menjadi universal. Mereka menyerangnya, mereka menyerang kelompok doa Kebijaksanaannya. Daftar ini selalu berubah-ubah karena pengalaman yang spesial di dalam Salib Kristus yang menyelamatkan mungkin berbeda-beda dari bulan ke bulan, pun dari hari ke hari. Dan pengenalan akan salib-salib tidak pernah mencegah kita untuk berteriak bersama Yesus, "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki"(Mrk 14:36). c. Bagaimana Salib itu Dipanggul Lambang dari Hati Yesus Yang Mahakudus dibagi dalam dua bagian dalam kotbah Montfort. Kata-kata pertama dari bagian kedua adalah, “Cinta Ilahi.” Ini merupakan cinta tanpa syarat dan tidak terbatas dari Hati Kristus yang mendorong dan menguatkan orang-orang kristen untuk memanggul salib-salib mereka. Kemudian, Cinta Kasih Ilahi memanggil mereka untuk mengikuti empat kualitas untuk menanggung penderitaan dari Salib Kristus yang mulia: “ kerendahan hati, kepatuhan, kesabaran, dan ketaatan.” Mengapa keempat sifat khusus itu menunjang salib? Keempatnya merupakan pralambang atas sikap Yesus sendiri dalam memanggul salibNya ke Kalvari. Keempat hal ini harus menjadi karakter bagi setiap murid dalam perjalanan Salib. 1. kerendahan hati Kualitas pertama yang dibutuhkan untuk memanggul Salib adalah kerendahan hati. Dalam kantiknya tentang kerendahan hati (kid 8 ), St. Montfort menyanyikan perlunya pengakuan untuk terbuka secara total bagi kuasa penyelamatan Allah. Dan misionaris ini berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang keras tentang banyaknya dosa kita, tentang ketiadaan kita. Ini meruapakan kebanggan yang akan dimiliki seseorang yang berpikir bahwa dia “terlalu baik” untuk diminta untuk memanggul salib. Ini merupakan kebanggan yang membuat kita berteriak “ mengapa aku Tuhan! Saya tidak pantas mendapat penderitaan ini.” Bagi Montfort, dampak serius dari membanggakan diri bisa membutakan kita pada previlese untuk mengambil bagian dalam salib setiap hari dan mengikuti Yesus. Ini berarti hanya kerendahan hati dan saudari sulungnya, kelembutanlah (kid.9), yang memungkinkan kita untuk terbuka bagi pengajaran Roh Kudus melalui salib. Kerendahan hati memberi kesempatan kepada kita untuk memahami bahwa “tetapi engkau murid Kebijaksanaan sejati, yang telah banyak mengalami godaan dan penderitaan dan demi keadilan sering dikejar; yang diperlakukan sebagai sampah dunia, hiburlah dirimu, bergembiralah, bergetarlah penuh sukacita, karena salib yang kau pikul adalah hadiah sangat berharga yang membuat para orang kudus di surga merasa iri, karena mereka tidak punya kesempatan lagi” (CKA 179). Kerendahan hati adalah karateristik utama dalam Yesus yang tersalib, seperti yang dinyatakan Paulus” dan dalam keadaan sebagai manusia, ia telah merendahkan dirinya dan taat sampai mati di kayu salib “( Fil 2:8 ). Hati Yesus yang lembut lemah lembut dan randah hati adalah model. Melalui kerendahan hati dan kelembutanya, kita menerima rencana misteri penyelamatan Allah. 2. Kepatuhan Bagi St. Montfort, kepatuhan adalah ekspresi kerendahan hati yang sesungguhnya. Yesus tunduk pada kehendak BapaNya dari awal mula sejak pembentukkan-Nya dalam rahim perawan Maria ( Bdk Ibr 10:5-9 ; BS 248 ). Sebagai sebuah personifikasi dari kerendahan hati yang sejati, Yesus berkata; “ Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diriku sendiri...aku tidak menuruti kehendakKu sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus aku ( Yoh 5:30 ). KeinginanNya adalah tunduk pada Yusuf dan Maria, dia tinggal selama tiga puluh tahun dalam kepatuhan pada IbuNya, karena semua itu adalah rencana Allah bagi diriNya. Salib adalah contoh paling tinggi yang menunjukkan cintanya untuk menerima kehendak BapaNya. Bagi orang kudus ini, kepatuhan bukan merupakan sesuatu yang bersifat negatif. Lebih dari itu, kepatuhan merupakan pengosongan diri yang aktif dan penuh kasih ke dalam Yang Lain agar menjadi diri kita sendiri yang sejati. Hal itu hanya bisa terjadi dalam keselerasan yang total dengan dasar dari segala yang ada, sumber dari segala cinta, tujuan dari seluruh ciptaan: Allah saja. Kepatuhan merupakan lawan dari pemberontakan. Kita tidak dapat memanggul Salib dengan mengeluh ( Bdk. CKA 178 ), kita tidak dapat melawan kehendak Tuhan yang jelas. Adalah lebih baik, jika kita menceburkan diri di dalam kehendak Allah yang penuh misteri dan menyatu dengan rencanaNya bagi kita, walaupun kehendah Allah mungkin berbeda dengan kehendak kita sendiri. Pengikut Yesus yang sejati dicirikan oleh kesatuan cinta denganNya, dan dalam dan melalui Yesus, satu cinta dengan Bapa-Nya. Kepatuhan Yesus yang tampak ketika Ia memikul salibNya, “bukanlah kehendak-Ku melainkan kehendak-Nya yang terjadi,” harus menandai cara umat kristiani dalam memanggul Salib. 3.Kesabaran Kesabaran dalam memanggul Salib merupakan permohonan St. Louis de Montfort ketika mendoakan Rosario misteri sedih yang keempat. Kidungnya tentang kesabaran terpusat secara penuh dalam memanggul Salib seperti yang dilakukan Yesus (Kid. 11). Pemahaman Montfort tentang kesabaran, kemudian, terjalin erat dengan salib itu sendiri. Maksud utamanya adalah semangat “untuk tertawa di tengah-tengah penderitaan / mengubah pencobaan menjadi kesenangan yang mempesona / tanpa ada kepedihan dan kesedihan... kesabaran yang takterkalahkan / pelajaran dari kematian Yesus” (Kid.11:1). Orang yang sabar, nyanyi sang misionaris, “memuliakan/ kebaikan Yesus dengan salibNya/ sejak ia sungguh meniru hidup-Nya / sejak ia tunduk pada hukum-Nya/ sejak Dia diisi dengan penderitaan-Nya / apa yang kurang dari penderitaan-Nya ( Kid.11: 4 ). Di dalam kata-kata yang membawa ejekan duniawi itu, Montfort mengajarkan,” terimalah dari tangan Tuhan sendiri / pencobaanmu sebagai hadiah yang terbesar / sebagai tanda bahwa Tuhan mencintaimu/ sebagai salah satu dari anak-anaknya yang terkasih (Kid. 11: 28). Bagi Santo Louis, semua ha ini merupakan tanda dari kesabaran yang sejati. Sebagaimana Yesus tidak mengeluh, sebagaimana Yesus tidak berbelok dari jalan Salib, demikian juga para pengikut Kebijaksanaan yang disalibkan. Salib yang jaya, kemudian, harus dipanggul dengan sukacita, bahkan di tengah-tengah linangan air mata kita (Kid. H 11:32 ) – maksud St. Louis de Montfort adalah untuk memperlihatkan ekspresi “ kesabaran dalam memikul Salib-salib kita.” 4.Ketaatan Sebagai puncak dan ringkasan dari tiga kebaikan yang terdahulu, Salib Kebijaksanaan Montfort menyediakan beberapa jalan untuk keperluan kebaikan dan ketaatan dalam rangka membawa salib sebagai murid yang setia. Ketaatan adalah nilai yang tertinggi dalam spiritualitas St. Montfort. Santo Montfort menuntut dengan sangat keras dalam hal ini didalam aturan bagi konggregasi-konggregasinya ( SMM dan DW ). Ini adalah karakteristik utama dari rasul-rasul akhir Zaman, sebagaimana dilukiskan secara khusus dalam Doa Menggelora. Mencintai ketaatan memberi ciri kepada mereka yang telah menyerahkan diri secara sempurna kepada Yesus melalui Maria. Maka, Ia sungguh menekankan ketaatan, seperti yang dinyayikannya,” untuk membuat jaji kemiskinan/ dan bahkan kemurnian/ untuk mempraktekan askese yang keras/ untuk menderita dengan menyiksa/ dan bahkan menjadi martir/ dan kepatuhan lebih jauh dari itu/ adalah menengetahui keinginan Tuhan ( Kid 10:3 ). Lagipula, keutamaan ini menduduki tempat yang penting dalam spiritualis St. Montfort., karena Yesus dalam dirinya adalah model ketaatan dalam penderitaan dan kematian-Nya: “Ia menjadi bayi / dalam rahim ibu-Nya / supaya taat.../ Ia taat persis samapi kematian-Nya.../ jika Dia mati di atas Salib, itu karena kekuatan ketaatann-Nya” (Kid.10:6,8 ). Misionaris ini menggemakan kembali pemikiran dalam kidung Paulus yang termasyur di dalam Filipi 2:6-11. Hasil dari ketaatan Yesus adalah keselamatan kita juga: “kita telah ditolak / oleh ketidaktaatan (Adam dan Hawa) / tetapi Yesus telah selamatkan kita semua/ melalui ketaatannya ( Kid 10:5). Kemudian dengan ketaatan yang seseorang bagikan dalam kemenangnn Salib ( H 10:1, 16, 17 ). Di dalam sebuah pernyataan ringkas St. Louis de Montfort menyatakan bahwa ketaatan adalah “taat kepada Tuhan / baik di dalam apa yang kita yakini maupun dalam apa yang kita lakukan / untuk menyerahkan baik roh maupun hati (kepada Tuhan) / sehingga semua yang baik mengidungkan kemenangan” (Kid 10:1 ). Tulisannya dalam Salib Kebijaksanaan, merincikan lima kualitas ketaatan ”sempurna, segera, suka cita, buta, dan tekun.” Kesempurnaan, ketaatan total merupakan lambang bagi murid setiap hari memanggul Salib sama seperti Yesus. Montfort meminta dengan tegas ketaatan yang total dari mereka yang mengenal hidup dan tulisannya. Dia tidak toleransi terhadap kemuridan yang setengah-setengah. Suam-suam kuku termasuk dalam sikap yang tidak disukainya. Jika Allah telah memberikan diriNya kepada kita, mengapa kita tidak memberikan diri kita secara total kepada Allah? Ini adalah kebenaran yang khusus dalam memkul Salib kita. Persatuan kita dengan misteri cinta Kristus haruslah tanpa batas. Seperti Tuhan mengungkapkan kehendak-Nya yang terbentang dalam setiap momen, , pun ketika momen yang dimaksudkan adalah penderitaan yang berat, maka tanggapan kita ditandai oleh ketaatan total, sempurna, dan penuh kasih menyerahkan diri dalam cintaNya. Ketaatan mestinya bersifat segera. Di dalam kidungnya tentang ketaatan, di mana ia menyelidiki secara lebih detail lagi tentang kualitas-kualitas, Santo Louis mencatat tiga tiga kualitas “ taat itu segera / tanpa meminta seseorang menunggu / kemudian anda akan taat secara rangkap / seseorang yang memerintah (Kid. 10:29). Montfort memohon Allah untuk mengirimkan kepadanya calon-calon ke dalam Serikat yang selalu siap-sedia untuk taat dengan segera kemanapun Roh Tuhan mengutus mereka. Kita tidak dapat menagguhkan panggilan Tuhan untuk bersatu dengan diri-Nya di Salib. Kita tidak dapat menangguhkan sukacita hati kita yang penuh cinta kepada hati Yesus yang tertusuk. Kemanapun, apapun, jawaban kita adalah seperti jawaban Samuel: “ini aku Tuhan”( Bdk. PM 10 ). Sesudah mendaftarkan “segera” sebagai kualitas ketaatan, Santo Louis de Montfort menambahkan – dalam kidung tentang ketaatan, dalam RIM, dan pada Salib Kebijaksanaan - “sukacita.” Orang Kudus ini tidak berbicara tentang “sukacita yang dangkal.” Yang dimaksudkanya adalah ketenangan yang terdalam yang tidak seorang atau sesuatupun dapat mengambilnya dari kita karena kita hidup dalam persatuan dengan Kristus yang tersalib. Ini merupakan sukacita yang penuh damai yang memancar dari dari orang Kristen yang sungguh-sungguh bersatu secara sempurna dengan Tuhan, khususnya tatkal sedang mengalami Salib-salib yang dahsyat. Karena itu, biografinya dengan pasti mengatakan kepada kita karakter Montfort sendiri. Di dalam momen-momennya, di dalam kehilangan segala sesuatu yang dia cintai, di tengah-tengah linangan air matanya, di sana bersinar damai yang penuh misteri. Dia tahu dan berbagi dengan teman-teman apa yang pada saat itu sungguh mengalami ketidakadilan; saat itu mencari sebuah perubahan hati di dalam otoritas yang memperlakukannya juga. Setelah menjelaskan secara detail tentang pentinganya ketaatan dalam RIM, dia menyimpulkan “(para anggota Serikat Maria), diperkenankan untuk secara sederahana dan jujur mengemukakan alasan-alasan mengapa mereka tidak melakukan atau tidak meninggalkan apa yang diperintahkan kepada mereka.” Montfort mau menyatakan secara tidak langsung bahwa di dalam dialog ini alasan-alasan dari anggota serikat barangkali meyakinkan superior untuk menarik kembali apa yang telah diputuskan. “Tetapi bila mereka telah mengemukakan alasan-alasannya dan kemudian ternyata tidak ditanggapi, mak mereka wajib untuk taat secara buta dan segera, tanpa bertanya mengapa atau bagaimana”( Konstitusi 27, cf H 10:32 ). “Taat secara buta berarti taat pada keputusan yang telah dibuat walaupun itu tidak disetujuinya. Yang diputuskan tentu tidak bertentangan dengan Injil dan tidak bertentangan dengan hukum-hukum penting serta kaul-kaul ( Kons.22 ). Keputusan dalam serikat tercapai melalui doa dan keterbukaan satu sama lain, sehingga dapat menerima apa yang dikehendaki Tuhan. Ciri yang terakhir dari ketaatan pada Salib Kebijaksanaan adalah ketekunan. Montfort melukiskan para penghormat yang “berpendirian tidak tetap” sebagai “orang yang pada saat-saat tertentu menghormati Perawan Suci, lalu pada saat-saat lain tidak, seturt selera mereka pada saat itu. Kadang-kadang mereka penuh semangat, kadang-kadang juga loyo. Kadang-kadang mereka kelihatan siap melakukan segala-galanya untuk melayani Perawan suci, lalu tidak lam kemudian mereka bukan lagi orang yang sama” ( BS 101 ). Orang-orang seperti itu digambarkan sebagai “plin-plan,” “berubah-ubah seperti bulan.” Di sisi lain, rang yang “teguh” atau “tekun” adalah orang-orang yang tidak berubah-ubah, sedih, takut bersalah, atau suka cemas (BS 109). IV. Surat Kepada Sahabat-Sahabat Salib 1. Untuk Siapa Surat Ini dilamatkan dan Apa Tujuannya Delapan tahun setelah kematiannya, Grandet menulis, “berdasarkan perkataan Yesus yang meminta para murid untuk menyangkal diri mereka dan memikul salib mereka dan mengikuti Dia...Montfort mencoba mengilhami semua orang dengan cinta akan Salib. Untuk menginspirasikan devosi ini...ia menghidupkan perkumpulan...yang mencakup kata salib di dalam namanya; untuk kepentingan mereka, ia menulis aturan-aturan dan menetapkan praktek-praktek yang disetujui oleh para uskup. Salah satu dari mereka masih ada di La Rochelle sampai hari ini.[18] Besnard menyebut salah satu perkumpulan yang didirikan 1708 di Paroki St. Similien di Nantes.[19] Tujuan dari perkumpulan ini adalah sama seperti semua perkumpulan yang didirikan oleh Montfort: melanjutkan pekerjaan untuk mengadakan pengakuan di luar selama misi dan menjamin hasilnya baik. Untuk “sahabat-sahabat Salib,” Montfort menulis sebuah surat edaran yang “berisi kata-kata dari injil untuk keselamatan.”[20] Keaslian dari surat ini yang mungkin ditulis olehnya di Rennes tidak dapat diselamatkan.Versi baru yang dipublikasikan tahun 1839 oleh Pater Dalin, Superior Jendral SMM nampak dalam God Alone. Kerangka surat itu adalah suatu komentar atas Mat 16:24. Beberapa kutipan teks Kitab Suci tesebar pada keseluruhan teks: kurang lebih 75 kutipan dari PL dan di atas 150 dari PB. Montfort juga mengutip dari Bapa-Bapa Gereja dan orang-orang kudus. Di tempat yang dilaluinya, ia menyimpan dengan lekat dan menutup dalam bukletnya Boudon yang berjudul le saintes voies de la croix ( 1671 ) ( Bdk SSS 18, 25, 26, 27, 35, 37 ). 2. Isi Surat yang dimulai ( SSS 1-12 ) dengan suatu dorongan dan suatu pembenaran: roh-roh jahat, orang-orang tamak, para pencari kenikmatan, bersatu dan membangun kemah di dunia; para sahabat Salib juga harus bersatu untuk membangun kemah Yesus Kristus. Menjadi sahabat salib, berarti memilih Kebijaksanaan Allah; “ini adalah nama yang tiada bandingnya seorang Kristen" ( SSS 3 ). Ini diikuti oleh prinsip-prinsip yang mendasari perkumpulan ini (SSS 13-40 ) dan empat puluh peraturan praktis bagaimana membawa salibnya ( SSS 41-46 ). Seluruh kesempurnaan kristiani sebetulnya trsiri dari: (1) keputusan untuk menjadi seorang suci: “ jika seseorang mau mengikuti Aku”; (2) mengingkaril diri: “ia harus menyangkal dirinya”; (3) rela menderita: “memanggul salibnya”; (4) mau bertindakan: “dan mengikuti Aku (SSS 13). Montfort menjelaskan dengan kata-katanya sendiri, kata demi kata dari perkataan Yesus ini.[21] Ini meruapakan sesuatu yang penting bagi semua yang memanggul salib mereka.Tidak ada seorangpun yang dapat atau menjadi sahabat Yesus tanpa minum dari piala-Nya. Penyaliban adalah tanda dari BapaNya bahwa Ia mencari dan mencintai kita sebagai teman yang sangat dikasihi-Nya. Sebagai murid-murid dari Allah yang tersalib, kita harus belajar dalam praktek semua ilmu pengetahuan yang penting ini (SSS 26) di bawah asuhan Yesus Kristus. Sebagai angota tubuh-Nya, orang-orang Kristen harus bersama-sama menanggung bagian-Nya. Pantas sebagai bait-bait yang hidup bagi Roh Kudus, mereka seharunya dipotong dan dipahat sebelum mereka sebelum dipasang kedalam bangunan itu. Mereka hanya mempunyai pilihan yakni memanggul Salib mereka dengan penuh sukacita dan sabar bersama dengan orang-orang kudus atau menggerutu atau mengeluh seperti seoarng bajingan( SSS 23-33 ). Ketika membawa salib, sebagiamana itu harus, Salib menjadi sebuah “kuk yang ringan.” Ini adalah sumber kemajuan dan penerangan; sebagai bahan bakar yang menjadi makanan bagi Cinta Tuhan, sebagai kayu yang menjadi makanan bagi api; memberikan kekuatan dan menjadi suatu kegembiraan karena orang sucipun mengalami pengalaman yang sama ( SSS 34 ). “ Hadiah terbesar bagi Tuhan.” Jika kita memahaminya, kita akan mempersembahkan missa, bernovena, dan melakukan ziarah untuk memprolehnya. Bukankah sumber kemuliaan di sini di dunia ini dan di surga menjadikan manusia orang yang suci ( SSS 35-40 )? Penderitaan demi penderitaan itu sendiri bukan tanpa makna. Berapakah harga untuk mengikuti Yesus dalam setiap langkah dan membawa salib kita seperti dilakukan-Nya. Montfort meringkaskan ini dalam empat belas aturan-aturan yang praktis (SSS 42-62): 1. jangan sengaja mencari salib-salib bagi dirimu sendiri, karena hidup akan membawanya setiap har. -2. Konsultasi baik untuk tetanggamu, untuk menghindari semua kelemahan yang bisa membawa skandal, dan di bawah bimbingan seorang yang bijaksana yang lebih tahu tentang kebijaksanaan duniawi. - 3. Mengagumi dengan sikap rendah hati sikap dan tingkah laku para kudus yang didorong Roh Kudus Roh Kudus untuk mencari salib-salib. - 4. Berdoa tanpa henti bagi Kebijaksanaan Salib bersama dengan pengalamannya. Berdoa uuntuk memahami dari pengalamanmu sendiri bagaimana mungkin untuk mengingikan, mencari, dan menemukan sukacita di dalam Salib. - 5. Tanpa kuatir menerima penghinaan yang datang dari kesalahan besar dan kegagalan di depan mata mu dan di hadapan hadirat Allah.- 6. Allah menghendaki agar kita perlu rendah hati jika kita telah jatuh dalam percobaan atau kesalahan sehingga dapat terhindar dari sikap menyombongkan diri dan kita juga akan dimurnikan. - 7. Hindarilah dari perangkap dosa yaitu ingin dihormati, lekat hati atau cinta diri. - 8. Ambilah makna dari setiap penderitaan sekecil apapun itu karena itu akan perlahan-lahan menjadi suatu yang luar biasa. Yang terpenting adalah bahwa engkau menderita karena cinta kepada Allah, dan hindarilah segala sesuatu yang dapat menguntungkan diri. - 9. Cinta kepada salib bukan hanya dengan cinta yang emosional tetapi cinta yang dapat diterima oleh akal budi (rasional) sehingga akan lebih bersifat rohani (adikodrati) dan akan dapat membawa kamu pada cinta yang merupakan puncak jiwa yang dapat membimbingmu kepada pengekspresian penderitaan dalam iman. - 10. Segala penderitaan yang merupakan salib akan membuat kita kehilangan segala-galanya untuk dapat memperoleh sesuatu yang lain yang lebih tinggi. - 11. Dengan melakukan keempat hal yang dapat memotivasi engkau untuk dapat menderita dalam roh yang benar; hidup di bawah mata Allah, Yang akan memandang dengan sukacita dan hati yang puas kepada siapa yang memanggul Salibnya dengan sukacita; memandang tangan Tuhan yang yang secara serentak pada saat yang sama mengizinkan penderitaan dan sekaligus menguatkanmu dengan kekuatan dan kelembutan; arahkanlah pikiran dan matamu kepada Yesus Kristus, sebab Dia adalah jawaban bagi segala persoalanmu; pandanglah kemuliaan kekal di Surga dan lihatlah hukuman abadi di neraka. - 12. Jangan pernah mengeluh dan menggerutu kepada orang atau sesuatu yang meyiksamu. - 13. Selalu menerima salib dengan rasa syukur. – 14. Di bawah bimbigan seorang yang bijaksana terimalah salib, pikulah beberapa salib yang sesuai denganmu. V. AJARAN MONTFORT Di bawah terang Perjanjian Lama dan Perjajian Baru, Montfort dengan caranya sendiri coba menafsirkan tentang rencana Allah yang kekal mengenai cinta, hidup, dan keselamatan manusia. Untuk mewujudkan rencana ini, Allah memilih untuk menjadi daging (manusia) untuk menebus dunia. Pilihan ini merupakan misteri bagi manusia. Barangsiapa yang setuju utuk berjalan sepanjang jalan yang dipilih Allah akan menemukan makna hidup. Yang mengikuti Kristus akan berkembang dalam kebijaksanaan dan cinta. 1. Salib dalam hidup Kristus a. Inkarnasi Penebusan Inkarnasi adalah “misteri pertama Yesus Kristus, ini merupakan ringkasan dari semua misteri kehidupannya” (BS 248); yang yang membuat semua misteri yang lain dapat menjadi mugkin.[22] Dia itulah Sabda yang menjelma, Kristus yang dapat lahir, mengajar, menderita dan wafat serta bangkit dari alam maut. Ketika Montffort diuji dalam misteri salib, Monfort memandang penderitaan Kristus yaitu untuk keselamatan kita dalam kondisi penyelamatan dari Sabda Yang Menjelma. Meskipun Monfort melukiskannya sebagai “Misteri yang teragung Kebijaksanaan Abadi (CKA 167, BS 26, Kid 19; 1) keyakinan dan ketertarikannya tidak pernah menjauh dari apa yang sudah ia mulai tentang Sabda yang menjadi daging. Misteri Salib dan Penjemaan akan dianggap sebago misteri yang terbesar dalam seluruh misteri-Nya, sepertinya ini merupakan tingkat keberhasilan yang tertinggi dari seluruh karyanya yaitu menyelamatkan manusia. Ketika memilih menjadi manusia Kristus memilih jalan penderitaan, menempatkan dirinya-Nya dalam keadaan yang menderita, yang mana merupakan konsekwensi langsung dari menjadi bagian dari Dunia dan “daging yang penuh dosa” di dalam kemanusiaan-Nya. b. Kristus Yang Setia Kepada Salib Allah memilih Salib untuk menyelamatkan manusia. Akibatnya, selama hidup-Nya di atasa bumi, Yesus hanya menginginkan dan bermaksud untuk melakukan kehendak Bapa “Sang kebijaksanaan telah mencintai Salib sejak masa kecil-Nya” (CKA 169). Sepanjang hidup Dia telah mencari Salib dengan penuh kerinduan” (CKA 170), hidup Yesus merupakan sebuah kerinduan akan Salib, “seluruh hidupNya....ditandai oleh Salib” ( CKA 170). Ajaran Monfort juga dipengaruhi oleh para penulis spiritualitas apada abad ke 17, seperti Chardon yang adalah penulis la Cruix de Jesu yang diterbitkan pada tahun 1647. Tema tentang Salib dan hidup Yesus yang terus menerus menderita terdapat dalam tulisan St. Robertus Bellarminus (1621), Fransiskus de Sales (1622), keduanya adalah Pujangga Gereja.[23] Para Pengkotbah[24] yang juga turut mempengaruhi pemikiran Montfort di Seminari Saint Sulpice seperti Olier[25] yang memiliki pandangan yang sama. Boudon juga menekankan pada kondisi dari ketidakberhentian penderitaan Sabda yang merupakan konsekuensi lanjut dari Inkarnasi. “Seluruh hidup-Nya dihabiskan dalam penderitaan, sebab secara aktual Dia mengalami rasa sakit yang disebabkan oleh duri yang datang dari luar atau pikirannya yang dirundung duka oleh gambaran yang hidup yang Dia bentuk dari mereka.[26] Ketika Montfort melukiskan penderitaan Kristus (bdk. CKA 13), dia memperlihatkan sekilas mengenai penyebab dan maknanya: cinta yang penuh sukacita bagi umat manusia. Kerena demi manusia Kristus memikul salib dan merangkulnya (CKA 170), bersatu dengannya (CKA 171), mengidentifikasikan diri-Nya dengan Salib (CKA 172). Sesudah memilihnya “ketika Ia berada di dada Bapa-Nya” (CKA 170), Dia memperbaharui pilihan-Nya itu ketika Ia berada dalam rahim Maria (CKA 170); seluruh pencarian-Nya, kerinduan-Nya, telah terangkum dalam Salib (CKA 170, cf. H 19). c. Misteri Cinta dan Kebijaksanaan Misteri salib pertama-tama adalah sebuah misteri cinta, disebabkan oleh cinta. Bapa mencintai diri-Nya sendiri dengan denagn sebuah cinta dari takterbatas didalam penjelmaan-Nya dan Sabda yang tersalib: Inilah Putera-Ku tercinta (Mat 3 : 17). Putera yang menjelma dan tersalib mencintai Bapa-Nya dengan cinta yang sama sebagiaman bapa mencintai-Nya sejak kekal (Yoh. 14: 31). Bapa tidak dapat mencintai Putera-Nya tanpa mencintai Dia dalam keadaan bebas-Nya sebagai manusia yang menderita; Putera, dalam keadaan yang sama akan menerima dengan gembira cinta Bapa-Nya. Begitupun dengan Roh Kudus merupakan cinta kasih timbal balik dari Allah Bapa dan Putera yang dapat diberikan juga kepada manusia Untuk itulah Allah ingin memeperlihatkan dan memberikan cinta-Nya kepada manusia. “Di dalam cinta-Nya yang takterbatas, Dia menjadi penyelamat dan pengantara kita kepada Bapa” (BS 85, 87). Dan Ia memilih “salib dan penderitaan” untuk “memberikan bukti cinta yang lebih besar kepada umat manusia”( CKA 164). Kebijaksanaan Abadi, Yesus Kristus dapat saja memenangkan hati pria dan wanita “lewat kecantikan-Nya, keindahan-Nya, kecemerlangan- Nya dan kekayaan-Nya; tidak bersentuhan dengan kemiskinan, kehinaan, dan jauh dari kelemahan,” Dia dapat saja dengan mudah menguasai kejahatan” ( CKA 168). Dia jusrtu memilih untuk tidak melakukannya demikian. “Yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul Salib ganti suka cita yang disediakan bagi-Nya (Ibr 12:2). Sebagaimana Allah memilih Salib, yang merupakan kebodohan dan hal hina atau batu sandungan; telah dijadikan-Nya sebagai kebijaksanaan tertinggi, yang mengutuk kebebalan kebijaksanaan manusiawi, seperti yang dikatakan St. Yakobus, cinta kepada segala sesuatu di bumi ini ( CKA 80); kebijaksanaan daging, cinta akan kenikmatan (CKA 81); kebijaksanaan setani, cinta dan penghargaan terhadap penghormata diri (CKA 82). Di sini mempunyai sebuah ringkasan dari argumen Montfort. Kebijaksanaan Abadi telah menyatukan diri-Nya dan tidak dapat dipisahkan dengan Salib dalam sebuah perjanjian kekal. Tidak ada jalan lain yang dapat mengantarkan kita kepada-Nya: “tidak pernah ada Salib tanpa Yesus atau Yesus tanpa Salib” (CKA 172). Kebijaksanaan sejati...telah menetapkan kediaman-Nya dalam Salib dengan begitu kuatnya sehingga kita tidak dapat menemukannya di tempat manapun di dunia ini keculi dalam Salib. Dia sungguh mendarah daging dan menyatu dengan salib sehingga dalam semua kebenaran kita dapat berkata: Kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan” ( CKA 180). d. Misteri Penderitaan dan Kemuliaan Persatuan yang takterceraikan antara Kebijaksanaan Abadi dan Salib telah disempurnakan di Kalvari, ketika mereka menyerahkan diri satu sama lain dalam rangkulan yang tertinggi “bagaikan di atas ranjang kehormatan penuh kemuliaan” (CKA 170-171). Kristus memberikan dan menyerahkan diriNya pada salib. Itu sudah diramalkan sebelumnya setiap kebenaran itu ada padaNya: itu sudah mejadi hal yang sangat mutlak diperlukan bahwa Dia harus menderita dan menanggung segala-galanya untuk bisa masuk dalam kemuliaannya ( Luk, 24; 26). Keberadaan-Nya dilucuti darisegala sesuatu, penderitaaan psikis dan mental-Nya, kehadiran ibu-Nya di kaki Salib, kemanusiaan-Nya yang ditinggalkan oleh Bapa-Nya, semuanya ini merupakan siksaan bagi manusia yang sungguh-sungguh menderita (CKA 155-162). Sebutan Montfort bagi kebangkitan itu sendiri hampir terbatas pada pernyataan-pernyataan untuk menjelaskan peristiwa mulia yang pertama dari Rosario (MR 4,13,27). Hal ini tidaklah mengejutkan karena Kebangkitan itu sendiri, pada masa Montfort tidak disajikan dalam sebuah studi yang jelas dan teliti pun di dalam buku-buku pegangan teologi. Sekalipun begitu, orang kudus ini berbicara tentang misteri kebangkitan Paskah tetapi hanya berasama dengan Salib. Bagi Monfort kebangkitan tidak terjadi “setelah” Jumat Agung; kemuliaan tidak hadir setelah Penyaliban. Lebih dari itu, Jumat Agung adalah kebangkitan, dan salib adalah kemuliaan, kematian yang sadis di Kalvary adalah kemenagan. Seperti para penulis rohani pada zamannya Montfort mengajarkan tentang “kemenangan Kebijaksanaan Abadi dalam dalam dan melalui Salib-Nya (CKA 14). Montfort menjelaskan semuanya ini hanya untuk membendung argumen yang memisahkan Salib dan kemuliaan. Dia akan menemukan hal yang tidak terpahami yang mengubah kebenaran bahwa kita merupakan “orang-orang Paskah” yang berarti juga bahwa sekarang ini salib dikesampingkan. Bagi Montfort kemenagan hanya dapat diperoleh dalam Salib Tuhan kita Yesus Kristus. Kemenangan salib ini dilambangkan dalam Kid. 19, yang memuji kemenangan salib atas maut, dunia dan kefanaan (hawa nafsu), serta musuh yang kelihatan dan yang tak kelihatan di atas bumi dan di dalam Surga. Montfort melihat salib sebagai sebuah trofi yang sungguh bernilai yang patut disembah (CKA 172). Kebijaksanaan akan berjalan di depannya, tempatnya di atas awan yang bersinar dengan cahaya cemerlang serta dengan salib ini Dia akan menhakimi dunia (CKA 172). Dalam pada itu, Salib merupakan tanda yang tetap bagi prajurit-prajurit Kristus untuk melangkah dari kemenangan yang satu ke kemenangan yang lain (CKA 173), karena penyaliban Kristus merupakan kekuasaan Allah dan kebijaksanaan Allah” (1 Kor 1:23-24). Kemenangannya tidak eskatologis semata; kemenangannya menunjukkan dirinya di dalam dunia ini melalui kebahagiaan batiniah, damai dan kelemahlebutan yang serupa dengan Kristus 2. Salib Dalam Kehidupan Orang-orang Kristen a. Pembaptisan dan Kewajiban-kewajibanya Semua kita yang telah dibaptis dalam nama Yasus Kristus juga telah dibaptis dalam kematianNya. Dengan demikian kita juga telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia, oleh pembaptisan ke dalam kematian, sehingga, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga mereka akan hidup sebagai ciptaan baru (Rom, 6;3-4). Ketika kita diperciki oleh air suci dalam pembaptisan, simbol Roh Kudus, para pendosa akan dikuburkan di dalam kematian Kristus, mereka akan keluar darinya sebagai ciptaan yang baru (Kol, 2,12, II Kor, 5:17). Secara logis, dipanggil untuk hidup sebagai “ciptaan baru” (Ef 2:15), orang-orang Kristen harus memerangi dosa di dalam seluruh hidup mereka. Pertentangan antara “kodrat yang lama” dan “kodrat yang baru”, “daging” dan “roh” membawa pembuangan dan penderitaan. Sehingga, Pembaptisan, yang adalah “perpanjangan dari misteri Paskah bagi semua umat beriman,” membawa Salib di belakangnya.[27] “Senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami”(II Kor, 4;10). Montfort sangat akrab dengan ajaran Paulus tentang Pembaptisan. Dia menekankan secara khusus, bagaimanapun, di dalam rahmat pengangangkatan sebagai anak-anak Allah diberikan melalui pembaptisan. Dengan menjadi manusia, Sabda telah mepersatukan diri-Nya dengan kodrat kita, dan sebagaimana adanya, akan terus berlangsung persatuaan-Nya dengan setiap orang Kristen, yang sungguh diinkorporasikan dengan Tubuh MistikNya. Penekanannya berubah menuju misteri inkarnasi: “Allah Putera ingin dijadikan lagi setiap hari dan, katakanlah, menjelma menjadi manusia dalam anggota-anggota-Nya” (BS 31). Akibatnya yang terungakap di sini terkait dengan yang ditulis oleh Paulus. Kita bukan lagi milik kita sendiri melainkan milik Kistus (IKor, 6; 19), “sepenuhnya Dia sebagai anggota-anggota-Nya” (BS 68), dan, karena alasan ini, ikut kita pun ikut merasakan Salib-Nya di dalam sebuah cara yang spesial. Orang yang telah dibaptis yang menolak Salib adalah “para penganiaya yang paling mengkianati Jesus” (SSS 27), kecuali kalau, mereka merupakan anggota-anggota yang mati tidak lama setelah berbagi dalam kehidupan sebagai anak-anak Allah di dalam Kristus. Pada akhir analisis ini, “orang-orang Kristen adalah orang-orang dipaku pada Salib bersama dengan Kristus sebagai akibat dari Pembaptisan.”[28] Janji-janji baptis yang kita ucapkan pada pembaptisan adalah ekspresi atau ungkapan keseriusan kita untuk mengikuti Dia dalam penderitaanNya: “Saya menyerahkan diri seluruhnya kepada Jesus Kristus untuk memikul salibku sama seperti Dia.” Orang yang terbaptis berbagi dalam pernikahan mistik Kebijaksaanaan yang menjelma dan Salib. Sama seperti mereka telah menjadi mempelai Yesus di dalam Baptisan (Kid 27:11), yang lebih mendekatkan mereka dalam persatuan dengan Kristus, kedalaman Salib meresap ke dalam hati mereka. b. Salib dan Pembaktian Diri Sempurna kepada Maria. Pembaktian diri yang sempurna kepada Kristus melalui tangan Maria merupakan pembahruan yang sempurna dan dari janji-janji baptis suci ( BS 126), sebab siapa yang melakukan itu telah mengungkapkan persetujuannya untuk memikul salib “setiap hari dalam hidupnya.” Pembaktian diri ini terkandung dalam “memberikan diri, membaktikan diridan mempersembahkan diri secara sukarela dan terdorong cinta, “mempersembahkan yang terbaik dari seluruh diri” (RM29). Tambahan pula puasa dan matiraga atas tubuh dan pikiran termasuk praktek-praktek yang dianjurkan untuk menghormati Maria, teladan matiraga universal yang tepat untuk bertobat (BS 108). Murid-murid yang sempurna dari Yesus dalam Maria ingin menjalankan kehendak Allah, sama seperti Kristus, yang telah mereka putuskan untuk diikuti “tanpa melihat, tanpa meraba, merasa dan tanpa goyah,” meskipun mungkin mereka dipersulit oleh “segala rintangan, kegelapan, pikiran kelelahan, kebosanan hati, kesedihan dan penderitaan jiwa” (CKA 187). Dengan berbagai cara mereka akan “mengalami kepahitan piala yang harus mereka minum agar menjadi sahabat-sahabat Allah yang bahagia” (RM 22). Selanjutnya, barang siapa yang telah menemukan Maria melalui Bakti yang Sejati, bahkan lebih daripada yang lain ia akan berhadapan dengan berbagai salib dan penderitaan. “Karena Maria sebagai Bunda kehidupan membagikan kepada anak-anaknya serpihan-serpihan dari Pohon Kehidupan, yang adalah Salib Kristus” (RM 22). Dia juga memberikan kepada anak-anak kesayangannya “rahmat dan dan anugerah dari (BS 154)”. “Sambil membebankan Salib-salib pada mereka, Maria juga memberikan rahmat untuk memikulnya dengan tabah, bahkan dengan gembira. Kemudian Salib-salib yang Maria berikan kepada mereka yang mempercayakan diri kepadanya dirasakan lebih banyak manisnya daripada (RM 22). Kata-kata yang kedengaran sukar tetapi realistis ini diinpirasikan oleh pengalaman spiritual Montfort sendiri dan dapat dipercaya. c. Salib sebagai Sebuah Jalan yang Bermuara pada Kebijaksanaan Salib “tidak terlalu banyak menjadi subjek bagi kontemplasi dan pencurahan sentimental sebagai sebuah misteri untuk didalami dan dipraktekan.”[29] Tidaklah cukup jika kita hanya mengatakan bahwa kebijaksanaan adalah Salib dan Salib adalah Kebijaksanaan. Seeorang harus menjadi murid yang sesungguhnya dari Sang Guru: “hanya Yesuslah yang dapat mengajar dan dapat membuat kamu mengenyam dan memahami rahasia ini oleh karena rahmatNya sendiri yang agung kepada kita (SSS 26). “Barang siapa diantara kamu yang tahu bagaimana memikul salibnya dengan lebih baik, walaupun tidak dapat membedakan antara A dan B adalah paling pandai dari antara semuanya” (SSS 26). Akan tetapi, jumlah orang-orang bodoh dan malang tak terbatas, kata kebijaksanaan, karena orang-orang yang menolak salib memikulnya dengan enggan jumlah juga tidak terbatas” (CKA 179). Oleh karena itu, kita seharusnya “berdoa mohon kebijaksanaan salib, yaitu suatu pengetahuan tentang kebenaran yang memberi nikmat dan yang dialami sendiri,...mohonlah kebijaksanaan salib, mintalah dan mendesak tanpa henti-hentinya, intalah tanpa ragu dan tanpa takut kamu tidak akan memperolehnya. dan Kamu pasti akan mendapatkannya. Dan kemudian kamu akan melihat dengan jelas berdasarkan pengalaman bagaimana bisa terjadi bahwa kita merindukan, mencari, dan mengenyam salib ( SSS 45). Untuk memahami misteri Salib, seseorang harus menjadi rendah hati, kecil, penuh disiplin diri, dan batiniah. Pengetahuan ini merupakan rahmat yang sangat “khusus” yang hanya dianugerhkan kepada mereka yang pantas memperolehnya sebagai penghargaan atas kesetiaan dan karya-karya mereka yang amat besar (CKA 174). Kalau pengertian “rahmat´terbesar” ini yang adalah “lebih besar dari anugerah iman,” maka Allah “memberikan ini hanya kepada sahabat-sahabat-Nya yang terbaik dan hanya sesudah mereka mendoakannya, menginginkannya, dan mendambakannya” (CKA 175). “Salib adalah bagian dari hadiah bagi mereka yang merindukan dan sudah memiliki kebijaksanaan Abadi” (CKA 103); Salib adalah tanda, meterai pengenal, dan senjata bagi seluruh kaum pilihan-Nya (CKA 173). Salib membuahkan nasihat-nasihat dari sang Misionaris: “tidak pernah saya mentobatkan lebih banyak orang selain sesudah interdik yang paling menyakitkan dan paling tidak adil (S 26). d. Salib Sebagai Sebuah Bukti Cinta Dalam sebuah surat kepada seorang Muder St. Josef, yaitu seorang Suster Penyembah Sakramen Maha Kudus, St. Montfort; mendorongnya dengan kata-kata ini: “Jiwamu sedang memanggul salib besar yang sangat berat. Namun alangkah bahagianya jiwamu! Tabalah, bila Allah terus menerus membuatmu menderita…. Yang pasti salib adalah tanda bahwa dia mencintaimu, saya menjamin bahwa bukti terbesar Allah mencintai kita adalah ketika kita dibenci oleh dunia dan ditimpa oleh salib-salib” (S 13). Untuk para pendosa salib adalah sebuah “hukuman cinta,” “ suatu hukuman yang ringan dan sementara disertai oleh hiburan dan pahala, kemudian diikuti oleh ganjaran di sini dan di akhirat” (SSS 21). Bila Allah berhenti mengirimkan salib, kita mempunyai alasan untuk takut karena kita akan dipandang sebagai “orang asing” atau “anak haram,” “tanpa ada hak warisan” ( SSS 25). Monfort memberikan perhatian kepada kebijaksanaan dan keprihatinan Allah ketika Dia mengirimi kita salib-salib “sesuai dengan ukuran kemampuan kita” (CKA 113). Masing-masing kita menerima “salib-salib kita dan bukannya salib orang lain, yang dalam kebijaksanaan-Ku, telah aku buat menurut ukuran, jumlah dan timbangan …. Yang demi kemurahan hati kepadanya telah aku pahat dari sebagian salib yang telah aku bawa ke Kalvari” (SSS 18). Orang-orang Kristiani yang menyambut salib dan memanggulnya menemukan di dalamnya kesempatan untuk menunjukan kepada Allah cinta mereka, karena salib melepaskan kita dari makhluk dan mengantar kita kepada Yesus Kristus. Salib membakar cinta kepadanya dan menantang kita untuk menyambut seperti cara anak-anak mencintai kehendak Bapa (CKA 176). e. Kegembiraan dalam memanggul Salib Berulle telah menulis bahwa “rahmat yang istimewa dalam Inkarnasi adalah suatu rahmat penolakan dan penderitaan.” Dia juga menambah “karakter istimewa dari Roh dan cinta Yesus Kristus ialah bahwa Ia telah mengorbankan jiwa-jiwa terkasihnya kepada-Nya.”[30] Sebagaimana Yesus telah menerima kondisinya sebagai manusia yang menderita yang tak terelakan sesudah inkarnasi-Nya, maka melalui baptisan orang-orang Kristiani berani untuk menyusuri jalan salib-Nya. Mereka harus dipersiapkan untuk berperang melawan setan dengan dunia yang fana sama seperti mereka telah memutuskan dengan serius untuk hidup sesuai dengan janji baptis lewat penyerahan dan pembaktian diri kepada Maria ( BS 50, 54, PM 18). Penolakan mereka terhadap dunia akan menghasilkan perendahan, penghinaan, fitnahan dan ditinggalkan (SSS 18 ). Mereka juga harus “tidak melekat hati pada harta benda, memilikinya dan seolah-olah tidak memilikinya, tidak mengeluh atau takut karena kehilangan harta itu. Memang ini sangat sulit untuk dilaksanakan” (CKA 197). Tambahan lagi, Kristus juga membagikan Salib-Nya sendiri dalam berbagai cara, yaitu melalui penderitaan, penyakit, pencobaan, kekeringan atau desolasi, kesalahpahaman di antara anggota keluarga dan sahabat, penderitaan tersembunyi yang tidak seorangpun mampu menghindarinya (SSS 18). Mereka harus “menyangkal dirinya,” yaitu mengekang keinginan diri merera sediri, melucuti diri mereka sendiri dari “kodrat yang lama,” memangkas dan meleburnya (BS 221) dengan mematikan diri setiap hari (BS 81) dan dengan berani mempraktekan “mati raga yang total dan terus menerus” (CKA 196). Mereka harus “bermatiraga, bukan saja dengan penuh kesabaran menerima penyakit-penyakit tubuh, keburukan cuaca dankesulitan-kesulitahn yang dialami karena kelakuan ciptaan lain; tetapi juga dengan tapa dan matiragaseperti puasa, jaga malam, dan aneka tapa lainnya” (CKA 201). Menyangkal diri sendiri berarti pertama–tama dan terutama adalah menanggalkan cinta diri, menghindari dengan perlakuan yang adil sikap membanggakan Salib bahwa ia harus memikul ( SSS 48 ) dan menyesali kesalahan-kesalahnnya (SSS 46). Ketika dipanggul pada jalan yang benar, Salib membawakan sukacita yang mendalam bagi jiwa. Nampaknya kata-kata ini tampaknya pasti bagi Montfort ketika dia ia menggambarkan kebahagiaan yang ia ketahui dengan begitu baik. “Bayangkan kebahagiaan terbesar yang dapat terjadi di bumi”, ia menulis “seorang miskin yang tiba–tiba menjadi kaya atau seorang petani yang diangkat menjadi raja lebih besar daripada kegembiraan seorang pedagang yang menjadi jutawan; lebih besar daripada kegembiraan seseorang jendral yang meraih banyak kemenangan; dariapada kegembiraan para tahanan yang dilepaskan dari belenggunya” – semua kebahagiaan ini tetaplah terbatas melalui perbandingan. “Kegembiraan seorang yang disalibkan dan menderita dengan sikap yang tepat, mengandung dan melebihi semuannya” (SSS 34). Salib berarti “firdaus di atas bumi” dengan alasan yang sederhana bahwa “melaluinya kita bersatu dengan Allah sendiri yang adalah pusat dari kehidupan dan kematian kita.”[31] Dan siapa yang dapat menggambarkan kemuliaan surgawi yang orang Kristiani peroleh, ketika, setelah kematian, penderitaan hidup mereka yang diubah menjadi “sebuah kemuliaan yang kekal?”(CKA176 ) “Siapa dapat memahami kemuliaan yang dihasilkan di surga apabila seorang selama setahun atau mungkin malahan sepanjang hidup dibebani denga salib dan penderitaan” ( SSS 39 )? “Memang kamu diberkati ketika dunia melawan kamu” (MLW 9). 3. Memahami Ajaran Montfort a. Logika Kristiani.
Pada penampilan pertama, cara bertindak Montfort dan ajarannya yang terpusat pada Salib menampilkan beberapa kelemahan dari kebiasaan umum. Secara teratur ia menggunakan kemeja kasar dan mendera dirinya dengan kedisiplinan, mengurangi tidur dan selalu berjaga-jaga di samping mayat.[32] Ia takut bahwa misi di Vertou akan gagal karena setiap orang memujinya dan berseru , “ Tidak ada salib itulah salib!” Beberapa bulan sebelum kematiannya, ia mengharapkan Puteri–puteri Kebijaksanaan mengalami “satu tahun penuh perjuangan, kemenangan , salib, kemiskinan dan cobaan.”( Surat 32). Tanpa menyangkal bahwa Montfort sedikit berbicara tentang kodrat manusia yang tidak ditebus, kita harus melihat di tempat lain untuk menemukan motivasi yang mendasari tindakan dan kata- katanya. b.Referensinya adalah “hanya Allah,” Jesus Kristus Kebijaksanaan yang Abadi dan tersalib, dan Injil.
Melalui sebuah pengalaman spiritual dan berkat rahmat, ia menyadari bahwa untuk menyelamatan manusia, Allah sendiri memilih jalan penderitaan dan kematian di Salib. Sebagai orang yang dibaptis dan misionaris, ia menerimanya untuk berjalan pada jalan yang sama. Berjalan menapaki jejak langkah Kristus termasuk memilih sebuah jalan hidup yang bertentangan dengan dunia. Melawan kebijaksanaan duniawi membawa banyak penderitaan, yang merupakan suatu sumber hidup dan jaminan keberhasilan. Untuk mengikuti Yesus Kristus, seseorang harus juga meninggalkan dirinya dan dosa dengan berani. Montfort mengajak para sahabat Salib untuk memahami betapa pentingnya penolakan itu dan mempraktikkanya tanpa kompromi. Dan kemudian, karena ia telah mengalami kemanisan Salib ketika ia ditinggalkan, ia menjanjikan bahwa mereka juga akan mengalami kebahagiaan spiritual, kebahagiaan yang indah, yang adalah buah Roh Kudus. Ini hanyalah sebuah langkah pendek dari pengalaman kebahagian yang diberikan Salib dan diharapkan agar orang membagikannya, Montfort mengambil langkah ini dengan gembira. Ia yakin bahwa kemenangan Salib hanya dapat dijamin pada akhir jalan Salib. c. Kebijaksanaan atau kebodohan?
Beberapa pernyataan atau ucapan Montfort, khususnya ketika ia berbicara tentang Salib, boleh jadi membawa interpretasi – interpretasi yang salah terhadap ajarannya. Contohnya, dalam CKA bab 14 ia berkata, “ Kebijaksanaan memilih kesenangannya di dalam salib; ia mencintai salib lebih daripada semua yang agung dan gemerlapan di surga dan bumi” (CKA 168); “sepanjang kehidupanNya, Ia dengan tak sabar mencari Salib” (CKA 170); “Salib adalah mutiara surga yang menyenangkan” (CKA 177); “Kebijaksanaan adalah Salib dan salib adalah kebijaksanaan” (CKA 180). Jika ungkapan-ungkapan pendek ini dimengerti secara harafiah atau keluar dari konteksnya, sangat boleh jadi akan menuntun kita untuk percaya bahwa Tuhan itu jahat dan suka dengan penderitaan manusia. Ungakapan ini menjadi lebih jelas jika kita melihat Salib sebagai manifestasi cinta Allah kepada manusia dan persahabatan-Nya dengan Salib (bdk CKA bab 6). “Jalinan persahabatan antara Kebijaksanaan Abadi dan manusia begitu dekat sehingga melampaui segala pengertian kita.” Ini karena “terdorong oleh kasih-Nya yang melimpah” sehingga “Ia memberikan dirinya sendiri kepada kematian untuk menyelamatkan manusia” ( CKA 64), “untuk mendekatkan diri pada manusia,” “untuk lebih nyata membuktikan cinta kasih-Nya” ( CKA 70; bdk cka 71,72). Dalam konteks lain, Montfort mengutip Roma 5: 8-9 : “Yesus membuktikan betapa Ia mencintai kita, oleh karena Ia mau mati bagi kita, walaupun kita orang-orang berdosa, demikiahn juga musuh-musuh-Nya” ( CKA 156 ). “Cinta kasih yang tanpa batas itu ditunjukkan kepada kita dalam misteri penderitaan-Nya” ( CKA 155). Allah telah berbelas kasih kepada manusia manusia di dalam kemalangan mereka setelah kejatuhan. Jika di sana muncul akibat-akibat yang di luar batas, ma hal itu pertama-tama harus dilihat dari pihak Allah. Tetapi ini tidak berarti memecahkan misteri Salib atau penderitaan. Bahkan ini menjadi lebih rumit lagi setelah Tuhan memilih untuk menderita. Karena penderitaan adalah kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan, dan para filsuf dan agama-agama telah dengan sia-sia mencoba untuk menemukan penjelasan yang masuk akal terhadapnya, sekalipun sama sekali tidak ada; ketika berhadapan dengannya, satu-satunya sikap yang pantas dari manusia adalah memberontak terhadapnya supaya mengidentifikasikannya, dan berjuang untuk mengurangi atau menghapuskannya; dengan cara ini, kebebasan masih akan memberikan sebuah arti bagi kehidupan. Kejahatan dan penderitaan tidak dingini oleh Tuhan , karena Ia manusia untuk menikmati kebahagiaan. Akan tetapi, ketika berkonfrontasi dengan kejahatan, Allah memilih untuk mengambil bagian dengan penderitaan manusia. Pemberian yang mendalam ini menciptakan sebuah pemisahan yang memungkinkan manusia untuk “untuk berharap sekalipun tida pengharapan” ( Rom 4 ;18). Di atas Salib, Tuhan, dalam ketakberdayaan-Nya yang nyata, menjadi dapat dipercaya karena menjadikan diri-Nya Orang Samaria Yang Baik Hati dan menanggung semua penderitaan untuk diri-Nya sendiri (Yes 53 :4 bdk. Yes 53 : 3, 10 ). Karena itu, tidak ada hal apapun yang dapat memisahkan manusia dari cinta Tuhan yang termanifestasi dalam Jesus yang tersalib. “Tidak pernah ada Salib tanpa Yesus atau Yesus tanpa Salib” (CKA 172) menggambarkan bentuk solidaritas ini secara indah. Karena dalam diri Yesus Kristus, Tuhan telah mengambil bagian-Nya bersama dengan semua pria dam wanita yang menderita dan memanggul Salib, Ia membuat mereka dapat menghadapi penderitaan, memanusiawikan kehidupan mereka bahkan dalam kedalaman kesukaran, dan oleh karenanya menjaga masa depan sampai akhir dari keberadaan mereka di dunia. Allah tidak mengecualikan puteraNya sendiri tetapi memberikan-Nya untuk kita semua ( Rom 8; 32, Yoh 3:6 ) untuk mendamaikan dunia denganNya ( 2 kor 5; 118 -19) : “Melalui Kristus dan dalam Kristus, cahaya itu dipancarkan ke dalam cengkaraman penderitaan dan kematian, terpisah dari Injil- Nya, yang meliputi kita “ ( GS 22 ). Yesus Kristus menawarkan kepada pengikut-Nya sebuah seni hidup baru, yang adalah Kebijaksanaan di mata Allah. Dalam kata-kata dan paraksis hidupnya bukankah Montfort sama seperti anak manusia “yang adalah bodoh demi kehendak Allah”[33] dan yang hatinya tertuju kepada Yesus yang tersalib, “bodoh demi kepentingan Allah”( 1 Kor 4 : 10)? Seperti Ignasius Loyola dan Fransiskus Asisi, Yohanes dari Salib, dan Teresa Lisieux dan banyak lagi, ia membuat sebuah pilihan yang tegas ; menderita dan merendahkan diri demi kepentingan Kristus, tidak menghargai sesuatu kecuali Salib, memintanya dengan tekun.( bdk. CKA 177), memikulnya dari hari ke hari. Memang ia adalah seorang eksentrik dalam standar duniawi, tetapi di atas semuanya ia berpusat pada Kristus sebagai hasil dari penyangkalan dirinya yang terus menerus : “namun aku hidup tetapi bukan aku aku sendiri yang hidup melainkan Kristuslah yang hidup dalam aku”( Gal 2; 20). “Para kudus sungguh memahami Salib. Mengikuti teladan Kristus, mereka menyambut Salib mereka setiap hari sebagai milik mereka yang berharga. Mereka mencintainya melalui hidup mereka…..Salib adalah sarana yang sangat diperlukan dengan mana yang Ilahi menjadi manusia.”[34] VI. Salib Masa kini 1.Perspektif Paskah Teologi Salib Kristus dan tempatnya dalam kehidupan Kristiani secara berangsur- angsur berkembang melalui periode apostolik, selama lima abad pertama dari era Kristiani, dalam abad pertengahan dan dalam masa sesudah Tridentin. Devosi kepada sengsara Kristus, baik di kalangan kaum religius maupun di antara kaum awam, telah mengambil berbagai bentuk yang sesuai melalui sejarah Gereja. Secara khusus pengaruhnya terhadap kehidupan Gereja dapat diperhatikan selama akhir abad pertengahan dan setelah Konsili Trente; periode ini ditandai dengan banyaknya bentuk devosi seperti jalan Salib, misteri sedih rosario dan ajaran-ajaran populer yang masih berlanjut sampai pertengahan abad dua puluh.[35] Pada paruh kedua abad keduapuluh, spiritualitas Kristiani, khususnya di barat, malah, memiliki kecendrungan untuk memberi tekanan pada kebangkitan. Tetapi walaupun aleluya Paskah adalah teriakan kemenangan yang mengelukan kemenangan dari hidup setelah kematian dan penderitaan yang terjadi pada Jumad Agung, namun penderitaan dan kematian adalah hadiah dan kebutuhan dalam urutan penebusan yang sebenarnya. Kematian dan kebangkitan merupakan suatu hubungan yang saling menguntungkan atau terkait, seperti dua aspek dari misteri yang sama: misteri Paskah. Menghadirkan yang satu tanpa yang lain, menekankannya yang satu dan mengorbankan yang lain adalah sangat membahayakan teologi dan spiritualitas. Melalui baptisan orang Kristiani dilahirkan kembali secara spiritual; mereka menjadi anak Allah dengan disaturagakan dalam Kristus dan di dalam misteri Paskah-Nya ( LG 7, SC 6, AA 3, AG 14,24). Itu mengandaikan bahwa mereka melewati jalan yang Putra lalui selama hidupnya di dunia, jalan Salib, yang membawa “kepada kemulian kebangkitan.” “Tak ada jalan lain yang terbuka bagi mereka: tanpa berprasangka terhadap perspektif ciptaan baru.(Gal 6: 15,LG 7), ajaran St.Paulus (1Kor3;18-19, Gal 2;19, 6; 11-14) adalah tidak juga ketinggalan zaman atau kuno. Konsili Vatikan II menaruh perhatian terhadap tempat Salib di dalam misteri Paskah; KV II berbicara tentang Gereja sebagai yang mengalir dari lambung Kristus yang terluka (LG 3,SL 5), yang memiliki tugas mewartakan Salib Kristus sebagai tanda cinta Allah yang universal sumber seluruh rahmat ( NA 4), sebagai umat Allah yang mengikuti jalan sempit dari Salib untuk mengikuti Kristus (LG 41; GS 38), ia berbicara tentang Maria yang bersatu dengan Puteranya dalam Salib (LG 58 ), tentang utusan-utusan yang tidak malu dengan perkara Salib (AG 24) tetapi mewartakannya lewat tugas apostolik mereka, yang membuat mereka memeluk penderitaan Kristus (AA 16), tentang kaum religius yang disemangati oleh cinta mereka akan Salib (PC 25) . Misteri Salib dan Kebangkitan Kristus adalah sebuah misteri Cinta ( GS 52) dan pembebasan (GS 52, DH 11); ia menawarkan rahmat dan kehidupan kepada Gereja dan umat manusia ( SL 61); ia membawa setiap aktivitas manusia kepada kesempurnaan (GS 38). Akan tetapi, ia tetap sebuah misteri yang tak terduga, karena ia adalah sebuah misteri yang tidak terpahami: “cinta kasih ilahi yang tak terbatas menuntut cinta kasih yang bodoh sebagi gantinya.”[36] 2. Bahasa Salib Gambaran Salib Kristus dalam bentuk – bentuk tradisionalnya masih dapat dilihat dimana-mana. Di beberapa negara dapat dilihat di persimpangan-persimpangan jalan. Salib selalu menempati posisi penting dalam Gereja dan selama perayaan sakramantal. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Membuat tanda Salib telah kehilangan kekuatan yang membangkitkan semangat. Melalui Liturgi Jumat Agung yang didahului dengan puasa tidak memiliki sebuah pengaruh yang abadi terhadap kehidupan iman. Dengan lemahnya iman dan pertumbuhan umat beriman yang indiferen, pesan salib telah kehilangan kekuatanya di antara umat Allah. Di lain pihak, perhatian kepada orang miskin, perjuangan melawan keketidakmerataan sosial, mencela ketidakadilan, dan solidaritas dengan orang yang tertindas dalam dunia ketiga dan keempat semakin mendapat perhatian. Bukankah ini devosi kepada Salib yang digantikan dengan sebuah komitmen untuk menolong manusia yang menderita, dengan mana Kristus mengidentikkan dirinya sendiri ? “Saya lapar, telanjang, dalam penjara, seorang asing, dsb” (Mat 25; 44-45). Dalam kotbah-kotbah mengenai penyerahan diri, adalah penting bahwa ketidakadilan tidak harus didukung. Pengaruh dari bahasa Salib sangat bergantung pada siapa yang membicarakannya dan siapa yang mendengarkannya. Adalah perlu untuk mendorong mistisisme Salib seimbang dengan perjuangan melawan kejahatan.[37] Sepanjang hidup Gereja, melalui ajarannya dan kesaksian yang diberikan oleh umat beriman, memihak dengan penuh hati-hati kepada orang miskin - memahami pesan – pesan Paus Yohanes Paulus II selama perjalanan apostoliknya, banyak pria dan wanita religius dibunuh karena mempertahankan hak orang tertindas- Gereja memulihkan kekuatan pesan salib kepada dirinya sendiri dan dunia. Jenis devosi kepada Salib yang hanya membawa perubahan pribadi kepada umat kristiani dapat menjadi kurang sempurna atau salah. Di sisi lain, kontemplasi tentang Yesus yang tersalib yang membuat kita terbuka terhadap kesukaran manusia dan memimpin kita untuk bersaksi tentang kehadiran Kristus, Penyelamat dan Pembebas, di tengah-tengah penderitaan, mengembalikan makna esensial dari Salib Kristus. Karena di dalam dirinya sendiri, Salib adalah beban yang tak tertahankan. Berapa banyak orang Kristiani yang menghadapi pencobaan dan penderitaan, meletakkan permasalahan mereka di depan pintu Allah: Bagaimana bisa Ia menyebut diriNya sebagai “Bapa Mahatinggi dan membiarkan begitu banyak kemalangan dan kekejaman terjadi? Ketika Salib begitu berat, hanya kehadiran seorang pribadi yang penuh cinta, acapkali tenang tetapi sangat berbelaskasihan- dapat menolong mereka yang menderita untuk menanggulangi keberadaan mereka, memurnikan ide- ide mereka tentang Allah, melepaskan diri mereka dari hal yang tidak penting, berpegang teguh pada hal yang penting, menjadi berpengharapan lagi, dan berkanjang dalam iman. Erangan umat beriman yang keluar dari kedalaman penderitaan mereka yang tak tertahankan menggemakan kembali erangan Kristus di Salib dan menjadi sebuah erangan cinta dan sebuah pesembahan untuk keselamatan manusia. 3.Salib para murid Bersama dengan Sabda Allah yang menjelaskan maknanya, misteri Paskah adalah cahaya baptisan di dalam perjalanan mereka melalui kehidupan. Menerima diri kita sebagai pemberian Tuhan, dengan seluruh kekuatan dan kelemahan, dan hidup dalam ketergantungan terhadap Pencipta kita dalam kesetiaan dan iman bukanlah perkara yang mudah. Perjuangan di antara keadaan-sesungguhnya “ciptaan yang lama” dan “ciptaan yang baru” berjalan tanpa henti; kewaspadaan dan asketisme sangat diperlukan untuk membantu perkembangan yang terakhir dan yang terdahulu. Kalau seseorang mempunyai sebuah pekerjaan khusus, jika dicermati dengan bantuan Gereja, sesungguhnya di sana tidak ada kebutuhan untuk mencari salib-salib yang luar biasa. Tetapi, kerendahan hati, disiplin personal di dalam mengatur waktu seseorang, dan pembatasan di dalam barang milik dan penggunaan barbag-barang material selalu merupakan kebutuhan. Doa yang terus-menerus setiap hri, yang merupakan usaha dan sekaligus rahmat dan penyambutan yang hangat terhadap sakramen-sakramen merupakan syarat yang permanen. Cobaan-cobaan yan kita alami di dalam kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga dan kehidupan sosial merupakan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan pada setiap taraf kehidupan dan merupakan tantangan bagi kita untuk memilih dan mengemudikan jalan hidup kita sehingga kita boleh mengikuti kita secara lebih dekat lagi. Sebuah perasaan memperoleh ketuaan, kelemahan, dan ketergantungan dan lain-lain seringkali ditolak oleh mereka yang merasa diri baik-baik saja dan aktif dan seringkali hal ini merupakan suatu purifikasi yang ultim di mana seorang Kristen dipanggil untuk menerima semuanya itu di dalam cinta. Bukan merupakan sebuah Salib kecil untuk menerima semua yang lain sebagaimana mereka adanya, sehingga cinta kasih timbal balik di antara orang-orang Kristen berarti menjadi siap untuk mengorbankan diri sendiri demi orang lain; orang-orang Kristen, seharusnya, bagaimanapun, menerima Salib yang Kristus tawarkan kepada anggota-anggota yang mempunyai hukum sebagai sebuah perintah baru, bahwa kita mencintai satu sama lain sama seperti Kristus telah mencintai” (Yoh 13:334;LG 9) Semua yang ingin menyesuaikan hidup mereka dengan Injil harus menerimanya dengan sepenuh hati bahkan perumpamaan – perumpamaannya yang keras (Mrk 14:33 ; Yoh 12 : 27 ; Luk 6: 21). Tak ada murid sejati dibebaskan dari menghidupi “kekinian” penderitaan dan godaan serta pengalaman kedalaman penolakan. Semua pengikut Kristus harus berpegang pada sabda Kristus denga serius, “ jika ingin menjadi pengikut-pengikut- Ku (Luk 9: 32) dan “ mengikuti Aku! “ (Yoh 21:19,22) dan menolak godaan untuk mengambil jalan yang lebih mudah. Maria, murid pertama, telah membiarkan jiwanya ditembusi pedang (Luk 2:35). Yesus mengijinkannya mengalami duka cita sampai akhir, sampai di bawah kaki Salib, di mana ia melihat orang yang dikasihinya mati. Semua orang yang berpegang pada Injil dengan serius akan menghadapi pasang surutnya dunia dan membiarkan diri mereka mendapat ejekan, bahkan terpisah dari orang yang dekat dan sayang kepada mereka ( Luk 12 : 51- 53), salah paham, dan penyiksaan. Refleksi atas kehidupan Allah dalam eksistensi manusia biasanya juga mencakup Salib.[38] Tetapi orang yang dibaptis tahu bahwa mereka tidak harus berjuang sendirian. Mereka maju “ sebagai pengikut Kristus,”di belakang-Nya dan oleh karena itu bersama dengan-Nya, sepanjang jalan siap dibuka oleh kekuatan Bapa: jalan salib dan kematian akan mengarah pada kehidupan. Para pengikut Kristus mencurahkan seluruh energinya kepada kehidupan kekal yang “sudah terjadi di sini”; mereka menopang dan membantunya tumbuh dengan Sabda Allah dan Ekaristi; mereka memperkuanya setiap hari dengan usaha mereka yang tetap untuk menerima Salib – Salib mereka dan mempeersembahkan semua Salib tersebut dalam persatuan dengan Guru mereka. “Ketika kamu menderita, sembunyikan dukacitamu di dalam dan karena Kristus. Rayakanlah misa. Jika orang melihat kamu dengan keheranan, jangan terganggu. Yesus, Maria, dan santo – santa memahamimu. Itu sudah cukup.”[39] 4.Relevansi Mistisisme Salib saat ini Seluruh anggota Gereja dipanggil menuju kekudusan (1 Tes 4:3; bdk. Ef 1:4), jalan hidup dan peran mereka. Di bawah bimbingan Roh Kudus dan dalam kesetiaan kepada Bapa, mereka mengikuti Kristus, miskin, sederhana dan memikul Salib, yang membuat mereka layak mengambil bagian dalam kemuliaanNya.( LG 39, 41). Tempat yang lebih besar disediakan bagi Kristus dalam hati mereka dan dalam hidup mereka , sehingga kekudusan mereka lebih jelas. Contoh-contoh kekudusan berlimpah – limpah dalam sejarah Gereja. Montfort adalah salah satu dari mereka. Ia mengalami dan merindukan Salib. Ia menghargai kemanisannya dan memuji kesuburannya. Karisma khusus dari beberapa pendiri telah menyoroti berbagai aspek khusus dari sengsara Kristus. Melalui para pengikutnya, mereka melanjutkan untuk mengingatkan orang Kristiani lainnya tentang realitas penderitaan Kristus yang menyelamatkan dunia. Beberapa pendiri dari gerakan gerejawi yang terkenal atau Kongregasi-konggregasi berbicara tentang tema yang mirip atau sama. “ Jika saya adalah mempelai Jesus yang tersalib, Ia telah memeluk saya. Jika saya bersatu dengan Yesus, saya harus menderita supaya mengambil bagian dalam penderitaanNya.”[40] “Saya memiliki satu mempelai di bumi, Yesus yang ditinggalkan”. Saya tidak mempunyai Allah lain selain Dia. Dalam Dia mencakup segenap surga dengan Tritunggal dan seluruh bumi dengan kemanusiaan. Apapun, Ia adalah milikku, dan saya tidak menginginkan yang lain. Ia adalah penderitaan yang universal. Saya akan berkeliling dunia untuk mencari-Nya di dalam setiap kesempatan hidupku. Biarkanlah saya memiliki segalanya yang bukan kebahagian, damai, keindahan, ketentraman…. apa pun yang bukan Surga, karena saya menemukan Surga di dalam Hati Mempelaiku…. Bersatu dengan Mempelaiku yang sangat kuat, saya akan mengeringkan air mata dari mereka yang menderita.”[41] End Note: [1] J.-B.Blain, Abrege de la vie de Louis-Marie Grignion de Montfort, hlm. 34. [2] Stefano de Fiore, La sapienza della crocenell’’itinerario spirituale di san Luigii di Montfort, in Atti del congresso internazionale sulla Sapienza della Croce (Kebijaksanaan Salib di dalam Perjalanan Spiritual Santo Louis de Montfort di dalam Penetapan Konggres Internasional Kebijaksanaan Salib) (Roma 1975), LDC, Leumann 1976, 2:360-371. Di dalam bagian pertama artikel ini kita akan semakin mendekat pada apa yang dikatakan oleh penulis ini. [3] Blain, 58, 73 [4] C.Besnard I, Vie de M. Louis-Marie de Montfort,Vol. I, Centre International Montfortain, Roma, 1981, hlm. 225. [5] Ibid, 42 [6] Ibid, 43. [7] cf. Ibid, 102. [8] Ibid, 146-147. [9] Besnard II, Vie de M. Louis-Marie de Montfort,Vol. II, Centre International Montfortain, Roma, 1981, hlm. 55-56. [10] Besnard I, 323. [11] Grandet, 402. [12] Besnard I, 147. [13] Besnard I, 147-148. [14] Besnard, I, 185-187. [15] Besnard I, 254. [16] Besnard I, 188-193. [17] Besnard II, 195. [18] Grandet, 401-402. [19] Besnard II, 22. [20] Grandet, 402. [21]cf. B. M. Ahern, Croix, in Dictionnaire de la vie spirituelle (Salib ddalam Kamus Kehidupan Spirituale), Cerf, Paris 1983, 236. mungkin saja perkataan Yesus tentang perlunya memanggul Salib (Mk 8:34; Mt 10:38; 16:24; Lk 9:23; 14:27) tidak mengacu kepada Salib Yesus di atas Kalvari tetapi kepada “kuk” yang disebut oleh Yesus (Mt 11:29), atau kepada semua pengorbanan yang diminta kepada semua orang yang ingin mengikuti Kristus, kecuali kalau sungguh-sungguh mengacu kepada adat kebiasaan Yahudi mengenai memberi tanda dan mengurapi seseorang dengan sebuah (+ or x, dalam bentuk tulisan tau kuno). Perkataan Yesus tersebut mungkin saja mempunya maksud aslinya: “barang siap yang tidak membut tanda (misalnya: tidak bertobat dan membaktikan diri mereka kepada Allah) dapat menjadi murid-Ku.” [22] Di sini Motfort menggunkan kata “mistery” di dalam pengertian abad ketujuhbelas: setelah St. Thomas, Bérulle mengacu kepada peristiwa di dalam kehidupan Kristus dan Maria yang melaluinya Yesus by which Jesus menyelesaikan misi-Nya sebagai Penyelamat dan membawa rencana Allah atau mistery did dalam pengertian Paulinian (Ef 3:3) [23] Bellarmin, In gemitu colombae (In the sign of the Dove) III, 3, 153. [24] Oeuvres complètes du Cardinal de Bérulle (Karya Lengkap Kardinal de Bérulle) 1644, reprint Montsoult 1960, 754. [25] Letter 178, in Lettres spirituelles de Mr. Olier, (Surat-surat Rohani Fr. Olier), Paris 1672, 436. [26] Boudon, Les Saintes voies de la Croix (Jalan Kesucian dari Salib), Paris 1769, 47. First approbation was dated April 12 and August 11, 1671. Comparison can be made between book IV, ch. 7 and FC 18, between book I, ch. 6 and FC 25, and between book IV, ch. 6 and FC 60. [27] F.X. Durrwell, La résurrection de Jésus Mystère de salut, Le Puy 1954, 369; F.X. Durrwell, The Resurrection, A Biblical Study, trans. Rosemary Sheed (New York; Sheed and Ward, 1960). [28] St. Thomas, Contra Gentiles IV, 71. Olier, Lettres spirituelles, menulis, “Salib Jesus merupakan sifat dan meterai dari perjanjian-Nya dengan jiwa” (37), dan “saya tidak akan mampu untuk mengungkapkan kerinduan yang terbesar untuk menghabiskan seluruh kehidupan di dalam Salib dan, sperti yang dikatakan oleh St. Sirilus dari Yerusalem, bahwa saya boleh diselimuti dengan salib-salib dari kepala sampai ke kaki, sebagaimana diminta oleh pembaptisan” (186). [29]J.A. Bizet, Saint Louis Marie de Montfort et l’Ecole dominicaine du XIVème siècle, in Supplément de la vie spirituelle 9 (St. Louis de Montfort dan Sekolah Dominikan dari Abad XIV di dalam Suplemen Kehidupan Spiritual 9), 1949, 60-67. [30] Bérulle, op. cit. 755 and 599. [31] Boudon, Oeuvres complètes, 66. [32] Blain, 24. [33] S. Breton, Le Verbe et la Croix (Sabda dan Salib) Desclée, Paris 1981, 52-75. [34] C. Lubich, Méditations, Nouvelle Cité, Paris 1977, 101. Catatan di dalam diarinya tetanggal 20 September, 1964, terbaca, “Santo Louis Marie de Montfort telah membuat saya memahami nilai yang paling untam dari Salib,” Diario 1964-1965, Città Nuova, Rome 1967, 150. Chiara Lubich, Meditations (New York; New City Press, 1974) [35] B.M. Ahern, Croix, 232-235. [36] S. Breton, Le Verbe et la Croix, 62. [37] J. Moltmann, Le Dieu crucifié, Cerf-Mame, Paris 1974, 62-64. J. Moltmann, The Crucified God, The Cross of Christ as the Foundation and Criticism of Christian Theology, trans. R.A. Wilson and J. Bowden (New York; Harper and Row, 1974) [38] cf. M. Gourgues, Le Crucifié (Yang Tersalib), Bellarmin-Desclée, Montreal-Paris 1989, 164. Menurut M. Gourgues, ini merupakan pengertian yang utama dari kata “Salib” di dalam Injil dan kata tersebut mengacu kepada “the cobaan-cobaan, pemisahan-pemisahan, penolakan-penolakan atau kepiluan-kepiluan yang muncul ketika memilih beriman atau mengikuti Yesus Kristus, meneriam atau menyebarkan Injil.” [39] C. Lubich, Méditations, 105. [40] Mother Teresa, Par la parole et l’exemple (Melaui Sabda dan Teladan), Nouvelle Cité, Paris 1990, 124. [41] C. Lubich, Méditations, 95.